Suara.com - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar ungkap penyebab obat inovatif alias obat baru untuk mengatasi penyakit kronis di Indonesia, bisa memakan waktu hingga 300 hari kerja untuk dapat izin edar satu jenis obat baru.
Kondisi ini diperparah, perizinan hanya bisa dihitung berdasarkan hari kerja. Padahal di sisi lain, perkembangan penyakit terus bermunculan di masyarakat, ditambah dengan berbagai sub hingga varian yang berubah dan berbeda setiap saat.
"Kalau obat inovasi selama ini, masanya untuk mengapprove (disetujui) itu membutuhkan 300 hari kerja. Kalau 300 hari kerja itu bisa selesainnya itu sekitar satu tahun, 6 bulan, itu yang disebut 300 hari kerja, karena hari libur tidak dihitung," ujar Taruna Ikrar dalam acara peluncuran terapi kanker inovatif Etana bekerjasama dengan Bigene di Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2024).
Kanker paru adalah kanker yang terjadi pada sel-sel dinding saluran udara organ paru. Sel tidak normal ini membelah secara tidak terkontrol dan membentuk masa padat alias tumor.
Menurut Taruna, lamanya perizinan obat karena terbatasanya keberadaan komite nasional. Komite inilah yang bertugas mengevaluasi jenis baru, sehingga Taruna berkomitmen BPOM di bawah kepemimpinannya akan menambah jumlah tim Komite Nasional, agar obat inovatif yang dibutuhkan bisa segera diedarkan dan diakses masyarakat.
"Apalagi yang mengevaluasi obat jenis baru ini biasanya para farmokolog, guru-guru saya yang masuk ITB itu belum belajar tentang (obat baru) itu, kan ilmu berkembang terus. Oleh karena itu di bawah kebijakan saya akan ditambah, itu komite nasional, strateginya supaya bisa lebih cepat sampai ke mejanya kepala BPOM untuk ditandatangani," papar Taruna.
Ia menambahkan, saat ini Indonesia 'dikepung' kanker paru sebagai jenis kanker terbanyak pada lelaki, Taruna bersyukur obat lini pertama kanker paru yang lebih inovatif, dengan teknologi antibodi monoklonal anti PD-1 sudah bisa diakses masyarakat.
Obat inovatif untuk kanker paru bernama Etapidi ini, baru saja mendapat izin edar BPOM RI dan sudah lebih dulu disetujui BPOM di 40 negara dunia. Termasuk BPOM Amerika Serikat yakni Food and Drug Administration (FDA).
Jenis obat Ini sudah dapat izin edar BPOM RI, sebagai pengobatan kanker paru-paru bukan sel kecil alias Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC).
Menurut situs Indonesia Cancer Care Community (ICCC) menyebutkan, ada dua jenis kanker paru yaitu small cell lung cancer (SCLC) dan NSCLC. Dari total kasus kanker paru di Indonesia, 10 hingga 15 persen di antaranya merupakan tipe SCLC yang cenderung agresif dan cepat menyebar.
Sisanya, mayoritas kanker paru merupakan jenis NSCLC yang cenderung tidak seagresif SCLC dan menyebar lebih lambat. Inilah sebabnya obat antibodi monoklonal anti PD-1, dapat perizinan lebih cepat karena dibutuhkan mayoritas kasus kanker paru.
"Salah satu produk yang cepat kita tandatangani yaitu Etapidi, saya belum sampai 6 bulan (jadi kepala BPOM) kita udah tandatangani. Komitmen kita untuk memotong mata rantai, obat esensial obat yang kita butuhkan di negeri ini, harus kita percepat, produk harusnya dapat pengesahan dari BPOM," ungkap Taruna.
Adapun efikasi obat antibodi monoklonal anti PD-1 sebesar 84 persen untuk mengatasi angka kesakitan akibat kanker tersebut. Obat kanker paru kategori antibodi monoklonal ini bekerja dengan cara menyasar dan memblok sel kanker, protein yang dihasilkan oleh gen spesifik yang jika berkembang terlalu berlebihan berpotensi menjadi kanker.
Menariknya, obat ini juga bisa digunakan untuk Karsinoma Sel Skuamosa Esofagus atau Esophageal Squamous Cell Carcinoma (ESCC). ESCC adalah jenis kanker esofagus alias kanker kerongkongan yang umum dan sangat agresif dengan tingkat kematian yang tinggi.
Bukan cuma itu, Taruna Ikrar juga mengumumkan izin edar diberikan untuk pengobatan kanker kelenjar getah bening seperti Limfoma Sel Mantel alias Mantle Cell Lymphoma (MCL), dan kanker langka Makroglobulinemia Waldenstrom (WM) yang menyerang sel darah putih dan merupakan jenis limfoma non-Hodgkin bernama Brukinsa.
Brukinsa ini sudah dipasarkan di lebih dari 70 negara, yang bisa dikonsumsi pasien dengan cara diminum alias obat oral.