Suara.com - Generasi muda alias Gen Z di Indonesia saat ini sudah lebih sadar dan peduli kesehatan mental, hingga tidak malu konsultasi ke psikolog. Tapi pertanyaanya, kalau sebagai karyawan pergi ke psikolog, apakah biayanya bisa ditanggung oleh kantor atau asuransi?
Menjawab hal ini, Head of Consulting and Analytics, Mercer Marsh Benefits Indonesia, Ria Ardiningtyas, mengatakan bahwa konsultasi ke psikolog tidak dijamin dalam asuransi yang diberikan perusahaan. Lho, kenapa?
Hal ini, menurut Ria, karena psikolog bukanlah dokter, sehingga tidak bisa memberikan terapi pengobatan atau meresepkan obat. Hanya saja, umumnya perusahaan di Indonesia memberikan jaminan pengobatan ke psikiater atau dokter spesialis kejiwaan.
"Biaya untuk konsultasi ke psikolog tidak dijamin, tapi ke psikiater itu dijamin. Kenapa? Karena psikiater itu adalah dokter backgroundnya, dokter jiwa, dokter spesialis kejiwaan, karena dia dokter, maka ada ilmu medicine (pengobatan)-nya, maka ya dijamin kan sakit. Lagian psikiater juga bisa resepkan obat-obatan buat bantu kejiwaan, tapi begitu ke psikolog, dia nggak bisa itu resep obat," ujar Ria saat memaparkan Laporan Indonesia Health and Benefits Study 2024 di Jakarta, Kamis (3/10/2024).
Baca Juga: Bisa Bantu Proses Penyembuhan, Ini Tips Menjaga Kesehatan Mental Penderita Kanker Payudara
Ria menjelaskan bahwa sebagian besar perusahaan menilai, saat karyawan hanya pergi ke psikolog untuk konsultasi, maka dianggap ia belum sakit. Bahkan kata dia, tren di beberapa tahun mendatang di mana banyak karyawan berkonsultasi ke psikolog untuk menjaga kesehatan jiwa, hal tersebut juga tidak akan dijamin oleh perusahaan.
Kondisi ini juga terjadi, karena umumnya psikolog hanya mendengarkan curhatan, sehingga jika 'pintu' klaim konsultasi ini dibuka, jumlah uang perusahaan yang ke luar akan lebih banyak dan tidak ada batasnya.
Apalagi, biaya konsultasi ke psikolog umumnya dibayar dan dihitung per jam, dan umumnya sekali pertemuan bisa berlangsung selama beberapa jam.
"Belum lama ini saya mendapati ke psikolog di Bogor itu Rp350 ribu per jam. Di Jakarta Rp500 ribu per jam, curhat nggak kerasa 2 jam, belum lagi hospital admin Rp50 ribu. Jadi itulah kenapa nggak di-cover, jadi harus curhat ke teman atau pasangan," papar Ria.
Meski begitu, Ria tidak menampik jika saat ini banyak perusahaan semakin peduli pada kesehatan mental karyawan. Namun alih-alih berfokus pada konsultasi ke psikolog, perusahaan pilih menerapkan program lain seperti menyediakan hotline hingga berikan day off untuk menggeluti hobi.
Baca Juga: Khawatirkan Kondisi Mental BamBam, Jackson Wang Berikan Pesan Penyemangat
Tren perusahaan semakin sadar pada kesehatan mental karyawan ini juga tertuang dalam riset Laporan Indonesia Health and Benefits Study 2024 oleh Mercer Marsh Benefits (MMB) Indonesia, bahwa ditemukan medical check up atau pemeriksaan kesehatan sudah jadi tren tahunan perusahaan di Indonesia.
Tujuannya, kata Ria, yaitu mencegah risiko peluang penyakit kronis karyawan semakin berat sehingga biayanya lebih besar, dan peluang karyawan bergantung pada obat semakin tinggi sehingga perusahaan harus terus menanggungnya.
"Program medical check up yang tepat dapat menjadi deteksi dini bagi penyakit kronis yang mungkin muncul di masa depan. Serta deteksi ini bagi perusahaan dalam merancang program wellness yang efektif fan efisien," jelas Ria.
Adapun selain medical check up, laporan MBB Indonesia hasil rangkuman lebih dari 470 perusahaan di Indonesia menemukan program kesehatan karyawan yang akan sangat membantu perusahaan, yaitu seperti pentingnya akses telemedicine atau layanan kesehatan jarak jauh, flexible benefits atau penyesuaian kebutuhan karyawan, dan tren biaya kesehatan meningkat apalagi ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) jadi penyakit paling umum saat ini.
Disarankan juga perusahaan menerapkan cost of care atau alat untuk mengukur biaya rumah sakit di Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan karyawan. Alat ini nantinya akan menghasilkan laporan lengkap dan komprehensif tentang biaya peraawatan medis rumah sakit di Indonesia.
"Cost of care merupakan cara efektif bagi perusahaan, termasuk perusahaan asuransi, untuk menganalisis dan membandingkan biaya rawat inap berdasarkan diagnosis, area dan kelas rumah sakit, kelas R&B, dan jenis perawatan (dengan atau tanpa pembedahan)," pungkas Ria.