Suara.com - Guru Besar Bidang Aritmia Universitas Indonesia (UI), Prof. Yoga Yuniadi, memperingatkan bahwa atrial fibrilasi atau kelainan irama jantung dapat meningkatkan risiko stroke iskemik hingga lima kali lipat.
Kelainan ini seringkali menjadi penyebab utama terbentuknya cardio emboli yang kemudian memicu stroke iskemik.
"Atrial fibrilasi merupakan kelainan irama jantung yang paling sering ditemukan dan menjadi penyebab utama terbentuknya cardio emboli, yang akhirnya menyebabkan stroke iskemik," kata Prof. Yoga, Kamis (15/8/2024).
Atrial fibrilasi menyebabkan terbentuknya gumpalan darah atau kardio emboli di serambi kiri jantung. Gumpalan ini kemudian dapat menyangkut di pembuluh darah besar, terutama di pangkal pembuluh otak, yang pada akhirnya memicu stroke iskemik.
Yoga menekankan bahwa stroke iskemik yang dipicu oleh atrial fibrilasi seringkali lebih parah, dengan tingkat mortalitas dan disabilitas yang lebih tinggi dibandingkan stroke tanpa kondisi tersebut.
"Tingkat kematian dalam 30 hari hingga satu tahun dan ketergantungan berat setelah satu tahun pada pasien stroke yang terkait dengan atrial fibrilasi jauh lebih tinggi, lebih berbahaya, dan lebih parah dibandingkan dengan stroke tanpa atrial fibrilasi," jelasnya.
Menurut Yoga, serangan stroke juga dapat memicu kelainan irama jantung lainnya, termasuk atrial fibrilasi. Aktivasi hormon saat stroke mempermudah terjadinya kelainan ini.
Untuk mengurangi risiko, dokter akan melakukan ablasi pada pasien yang mengalami stroke iskemik dengan atrial fibrilasi setelah lima hari masa akut.
Tindakan ini bertujuan menghentikan pembentukan gumpalan darah di serambi kiri jantung, yang dapat menyebabkan disabilitas berat seperti kesulitan menelan dan bergerak.
Penanganan atrial fibrilasi harus dilakukan dengan mengendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, obesitas, usia, gangguan tidur, dan konsumsi alkohol berlebihan. Menurut Prof. Yoga, hipertensi adalah salah satu faktor utama yang harus diperhatikan agar stroke iskemik dan atrial fibrilasi tidak berkembang lebih lanjut.
Ia juga menekankan pentingnya kesadaran masyarakat akan risiko atrial fibrilasi pada usia 40 hingga 60 tahun. Mengenali gejala melalui pemantauan denyut nadi atau menggunakan smartwatch dapat membantu deteksi dini kondisi ini. (antara)