Ibu Rumah Tangga 6 Kali Lebih Berisiko Alami Mom Shaming, Bagaimana dengan Ibu Bekerja?

Senin, 01 Juli 2024 | 18:54 WIB
Ibu Rumah Tangga 6 Kali Lebih Berisiko Alami Mom Shaming, Bagaimana dengan Ibu Bekerja?
Ilustrasi mom shaming (Pixabay.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penelitian terbaru Health Collaborative (HCC) menunjukkan ibu rumah tangga (IRT) lebih rentan alami mom shaming dibanding ibu bekerja. Tak main-main, data ini menunjukan 7 dari 10 ibu di Indonesia alami mom shaming.

Peneliti utama sekaligus ketua HCC, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, menemukan angka kejadian mom shaming di Indonesia mencapai 72 persen. Mirisnya, kata dia, pelaku utama mom shaming berasal dari keluarga maupun orang terdekat dari si ibu sendiri.

"Hasil studi menunjukkan, 7 dari 10 ibu di Indonesia yang diwakili responden penelitian ini pernah mengalami bentuk mom shaming, yang berdampak signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional mereka," ujar Dr. Ray dalam acara diskusi di Senayan, Jakarta Selatan, Senin (1/7/2024).

Mom shaming adalah perilaku kritik yang dilontarkan orang lain kepada seorang ibu yang dapat mempermalukan, merendahkan, menghina, atau bahkan menyakiti perasaannya.

Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Jadi Paling Banyak Berangkat Haji 2024 Gelombang I: PNS Tempat Ketiga

Perilaku mom shaming yang terjadi juga beragam, dari mulai menghina fisik hingga cenderung menghina dan menjelekkan parenting atau pola pengasuhan ibu terhadap anak dan keluarganya.

Penelitian yang melibatkan 892 responden ibu berusia 20 hingga 40 tahun ini juga mengungkap data miris jika pelaku mom shaming berada di lingkaran terdekat ibu. Dari mulai keluarga seperti suami, orang tua, kerabat atau lingkungan tempat tinggal.

"Ini tentunya temuan yang perlu dikaji lebih sistematis, karena keluarga harusnya menjadi core support system yang melindungi ibu dari perlakuan mom shaming,” papar Dr. Ray.

Dokter yang juga dosen Program Magister Kedokteran Kerja di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu juga mendapati ibu rumah tangga lebih rentan alami mom shaming. Tak main-main data menunjukkan ibu tidak bekerja alias IRT, 6 kali lebih berisiko alami mom shaming.

Menurut Dr. Ray, kondisi ini disebabkan karena lingkungan terdekatnya yang seharusnya menjadi support system atau pelindung dan pendukung ibu, malah berbalik menjadi pelaku. Kondisi ini sangat berbanding terbalik pada ibu bekerja yang umumnya mendapat dukungan dan bantuan dari sesama perempuan bekerja.

Baca Juga: Menkes Ingatkan Ibu Rumah Tangga Soal Penanganan Arbovirus di Rumah, Apa Itu?

"Lingkungan tempat tinggal, apesnya, mereka jadi aktor (pelaku) mom shaming. Ternyata, lebih kondusif kalau ibu bekerja karena situasinya bagus, mereka (ibu) jadi teman secara positif dari teman kerja," jelas Dr. Ray.

Meski begitu Dr. Ray juga tidak menampik walau angkanya tidak sebesar IRT, penelitian ini juga menemukan 29 persen ibu pekerja alami mom shaming di tempat kerja dan di lingkungan tempat tinggal sekaligus.

Lebih lanjut, jika mom shaming ini dibiarkan terus menerus dan berlanjut, maka risiko terbesarnya yaitu sebanyak 56 persen ibu alami gangguan kesehatan mental. 65,7 persen ibu juga merasa malu dan bersalah dengan tudingan tersebut.

"Bahkan 64 persen mengakui kata-kata dan tudingan mom shaming ini akhirnya dapat mempengaruhi cara mengasuh anak. Lalu sebanyak 22 persen kompensasi dengan (membandingkan dan berlaku keras) ke perempuan lain," terangnya.

Mirisnya lagi, dari tingginya angka mom shaming yang berdampak pada kesehatan mental ibu dan mempengaruhi pola asuh anak, penelitian ini menemukan hanya 11 persen perempuan yang mendapat atau mencari bantuan konseling. Bahkan hanya 23 persen ibu responden yang mengaku berani melawan dan menghindar dari perlakuan mom shaming.

"Kondisi ini disebabkan kurang optimalnya peran support system, yaitu keluarga, yang harusnya melindungi mereka. Akibatnya selain tidak bisa melawan dan menghindar, malahan ibu yang mengalami mom shaming takluk dengan kritik tidak membangun ini dan mengorbankan pola asuh atau gaya parenting yang bisa saja sudah baik,” pungkas Dr. Ray.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI