Tak Hanya Penyakit Pernapasan, Polusi Udara Juga Bisa Berdampak pada Kesehatan Mental

Vania Rossa Suara.Com
Senin, 01 Juli 2024 | 13:46 WIB
Tak Hanya Penyakit Pernapasan, Polusi Udara Juga Bisa Berdampak pada Kesehatan Mental
Ilustrasi Polusi Udara Bisa Berdampak pada Kesehatan Mental (Freepik/dashu83)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Polusi udara di Jabodetabek kembali memburuk. Pada 1 Juli 2024 pukul 08.00 WIB, IQAir mencatat Jakarta berada di peringkat empat sebagai kota paling berpolusi di dunia dengan konsentrasi PM2.5 sebesar 82 μg/m3 (kategori tidak sehat).

Buruknya kualitas udara ini akan berdampak pada kesehatan fisik, terutama terkait dengan pernapasan. Studi gabungan antara Nafas bersama Halodoc mengungkapkan terdapat risiko peningkatan kasus penyakit pernapasan sebesar 34% ketika terjadi kenaikan polusi PM2.5 sebesar 10 μg/m3.

Tapi, tahukah Anda, buruknya kualitas udara ternyata tidak hanya akan berdampak pada kesehatan fisik, melainkan juga dapat memengaruhi kondisi kesehatan mental.

Merujuk pada studi yang terbit pada PubMed Central, polusi udara berdampak pada berkurangnya tingkat kebahagiaan seseorang dan juga meningkatkan tingkat gejala depresi.

Baca Juga: Tren Cek Khodam Ramai di Media Sosial, Ini Dampaknya dari Sudut Pandang Psikologi

Lebih lanjut, studi yang terbit pada jurnal Environmental Pollution juga mengungkapkan bahwa terdapat relevansi antara peningkatan risiko depresi dengan paparan jangka panjang terhadap PM2.5. PM 2.5 sendiri merupakan partikel polusi udara terkecil yang berbahaya bagi manusia karena partikel tersebut tidak dapat disaring oleh tubuh.

Psikolog Patricia Elfira Vinny, Mitra Psikolog Halodoc, menjelaskan bahwa paparan polutan udara secara jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, psikosis, dan bahkan demensia.

"Selain itu, terdapat juga indikasi bahwa anak-anak dan remaja yang terpapar polusi udara secara terus menerus pada tahap kritis perkembangan mental mereka, akan lebih berisiko mendapat masalah kesehatan mental di masa depan,” katanya dalam keterangan.

Patricia menambahkan bahwa risiko ini akan menjadi jauh lebih mungkin dialami oleh masyarakat yang tinggal di kawasan metropolitan seperti Jabodetabek. Hal ini karena penduduk di kota metropolitan cenderung memiliki kondisi psikososial yang lebih kompleks.

"Adanya kemacetan yang dialami setiap hari di tengah kualitas udara yang buruk, hingga masalah finansial dan tekanan pekerjaan, menjadi faktor pendukung yang membuat masyarakat di wilayah metropolitan yang berpolusi udara tinggi lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental,” imbuhnya.

Baca Juga: Intrusive Thoughts Viral di Media Sosial, Sebenarnya Apa sih Ini?

Apabila polusi udara ini berlangsung secara terus menerus, maka jumlah penduduk di Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan mental akan berpotensi terus meningkat. Saat ini, data dari Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa 1 dari 10 orang di Indonesia telah mengalami gangguan kesehatan mental. Bahkan, dalam platform Halodoc sendiri, terdapat permintaan yang konsisten untuk layanan kesehatan mental selama satu tahun terakhir.

Beberapa gejala awal dari gangguan kesehatan mental, terutama gangguan depresi, yang dapat dialami masyarakat, antara lain menurunnya kemampuan berkonsentrasi, rasa tidak tenang, ketidakmampuan membuat keputusan, hingga gangguan tidur.

Dalam jangka panjang, gangguan kesehatan mental akibat polusi udara yang tidak tertangani dengan baik juga berpotensi dapat menyebabkan bunuh diri. Studi National Bureau of Economic Research Cambridge mengungkapkan bahwa polusi udara meningkatkan jumlah kematian bunuh diri hingga 0,49% pada kasus bunuh diri harian setiap peningkatan 1 g/m3 PM2.5 harian.

Patricia pun menekankan pentingnya berkonsultasi dengan psikolog ataupun psikiater ketika merasa mengalami gejala-gejala awal dari gangguan kesehatan mental.

“Untuk menjaga kesehatan mental di tengah kualitas udara yang buruk dan berbagai stressor lainnya, masyarakat diimbau tidak self-diagnose dan berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater supaya mendapatkan penanganan yang tepat,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI