Suara.com - Jakarta baru saja ulang tahun ke-497 pada 22 Juni kemarin. Namun di tengah kegembiraan itu, Jakarta masih diselimuti persoalan klasik tentang polusi udara. Bahkan saat Minggu pagi, di mana waktu car free day (CFD) masih berlangsung, kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori tak sehat.
Hal itu tercatat dalam data laman resmi IQAir, di mana kualitas udara Jakarta menempati peringkat ketiga terburuk di dunia pada Minggu (23/6) pagi. Indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di angka 166, dengan angka partikel halus (particulate matter/PM) 2,5 di angka konsentrasi 77 mikrogram per meter kubik.
Guru Besar Fakultas Kedokter Universitas Indonesia prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P., mengatakan kalau konsentrasi itu setara dengan 15,4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dia juga membandingkan kualitas udara Jakarta dengan Sydney, Australia, yang sangat jauh berbeda.
"Tadi malam 22 Juni 2024, saya baru kembali dari Sydney mengikuti Konferensi Ketahanan Kesehatan Global. Di Sydney di pagi hari, kadar PM 2.5 hanya 12 saja, jelas jauh lebih sehat dari kita di Jakarta, dan langitnya pun amat biru cerah menyegarkan," tutur prof Tjandra dalam keterangan tertulisnya kelada suara.com, Minggu (23/6/2024).
Baca Juga: 5 Promo Diskon Gila-gilaan di PRJ 2024: Beli Kasur Bisa Dapat Motor!
Dokter spesialis paru itu pun memberikan empat hal yang perlu diwaspadai serta dilakukan dalam menyikapi kualitas udara tidak sehat di Jakarta.
1. Harus ada upaya maksimal mengatasi polusi
Prof. Tjandra meminta perlu ada upaya maksimal dalam mengatasi polusi udara di Jakarta. Sebab, menghirup udara yang tercemar dalam jangka waktu berkepanjangan pada akhirnya akan merugikan kesehatan.
2. Waspada ancaman kesehaan pernapasan
Dalam polusi udara terdapat partikel, yaitu PM 10 dan PM 2.5, dan gas yang sedikitnya berupa karbon monoksida (CO), sulfur monoksida (SO2), dan Ozon. Paparan gas pada cemaran udara Jakarta itu bisa memberikan dampak jangka pendek seperti iritasi saluran napas. Kondisi itu dapat jadi pemicu keluhan batuk, sesak napas, kambuhnya asma dan eksaserbasi Penyakit Paru Kronik (PPOK).
Baca Juga: Ojol Curhat ke Heru Budi di HUT Jakarta Dapat Sepeda, Berharap Jalan Lancar Biar Orderan Lancar
Juga dapat terjadi infeksi, seperti ISPA dalam bentuk bronkitis dan lainnya. Sementara itu, dampak jangka panjang mungkin saja terjadi kerusakan di saluran napas dan mungkin juga alveolus. Hingga dapat terjadi penyakit paru kronik dan perburukannya.
3. Batasi aktivitas di luar
Prof Tjandra menyarankan, sebaiknya batasi aktifitas di luar rumah saat kadar polusi udara dalam kategori buruk. Cara lain juga bisa dilakukan dengan tetap menjaga kesehatan, konsumsi makan bergizi, istirahat cukup dan tidak merokok. Apabila memiliki penyakit kronik (baik paru ataupun juga yang lain), maka pastikan patuhi anjuran dokter, termasuk mengkonsumsi obat rutin yang telah diresepkan.
4. Saran untuk pemerintah
Menurut prof. Tjandra, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini juga. Pertama, pemerintah harus berupaya maksimal menangani masalah polusi udara agar warga dapat menghirup udara bersih dalam kehidupannya sehari-hari. Kedua, memberi informasi tentang kadar polusi udara secara rinci dan berkala kepada masyarakat secara lebih luas dan mudah dipahami.
Ketiga, apabila ada warga negara yang mengalami gangguan kesehatan, atau kelompok berisiko yang rentan terkena gangguan akibat polusi udara, maka pemerintah berkewajiban menyediakan akses terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya tanpa harus dibebankan biaya.