Suara.com - Beberapa organ tubuh manusia, seperti ginjal, hati, hingga usus, bisa alami kerusakan hingga fungsinya terganggu. Dalam beberapa kasus, transplantasi organ jadi jalan terakhir yang bisa dilakukan dokter untuk menyelamatkan nyawa dan kualitas hidup pasiennya.
Dokter spesialis urologi dr. Gerhard Reinaldi Situmorang, SpU(K), PhD., menjelaskan bahwa transplantasi merupakan pengambilan organ atau sel atau jaringan dari tubuh seseorang dan memasukkannya ke dalam tubuh orang lain yang mengalami kegagalan organ.
“Prosedur ini tentunya dapat menyelamatkan nyawa orang yang menerima donor tersebut. Transplantasi biasanya hanya dipertimbangkan setelah semua perawatan lain gagal dan dokter yakin bahwa pasien hanya bisa disembuhkan lewat transplantasi,” jelas dokter Gerhard dalam siaran pers Transplant Fest 2024.
Menurut dokter Gerhard, teknologi medis di Indonesia telah makin canggih dan maju. Salah satunya ditandai dengan makin bertambahnya jenis transplantasi. Sebelumnya, di Indonesia hanya dapat dilakukan transplantasi organ seperti ginjal dan hati, tapi saat ini transplantasi sel dan jaringan juga sudah dapat dilakukan di Indonesia.
Baca Juga: Prevalensi Gagal Ginjal Masih Tinggi, Sejauh Mana Transplantasi Ginjal Bisa Jadi Solusi?
Selain itu, perkembangan usia pasien yang dapat ditransplantasi juga makin berkembang. Misalnya, pada transplantasi ginjal yang sebelumnya hanya dapat dilakukan pada dewasa, kemudian saat ini dapat dilakukan juga pada anak. Sedangkan transplantasi hati yang pada awalnya hanya dilakukan pada anak, kemudian dapat dilakukan pada orang dewasa.
“Tentunya perkembangan transplantasi ini tak lepas dari dukungan pemerintah yang senantiasa memperbaiki sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga dapat membiayai tindakan transplantasi dan obat-obatan yang dibutuhkan untuk perawatan sesudahnya," imbuhnya.
Secara teknis, operasi untuk pendonor kini lebih singkat masa rawatnya karena menggunakan teknik terbaru, pemantauan resipien pasca-operasi juga dilakukan secara lebih intensif dengan tingkat komplikasi untuk resipien dan donor yang jauh lebih rendah. Angka kesintasan para resipien transplantasi ini juga makin tinggi karena majunya teknologi kesehatan dan obat-obatan.
"Hal lain yang perlu diketahui juga adanya kesempatan untuk melakukan proses transplantasi organ dari donor yang berbeda golongan darah atau disebut sebagai ABO incompatible,” jelas dr. Gerhard.
Ada pun inovasi teknologi dan teknik yang digunakan beberapa di antaranya berupa uji cross match, laparoskopi, Human Leukocyte Antigen (HLA, protein yang ditemukan pada sel tubuh manusia, yang digunakan dalam pencocokan antara donor dan resipien ketika melakukan transplantasi).
Baca Juga: Dave Hendrik Kena Serangan Jantung, Awalnya Terasa Panas di Dada