Gawat! Cegah Dibeli Pelajar, Peneliti Minta Wajib Tunjukkan KTP Saat Beli Rokok

Selasa, 11 Juni 2024 | 10:42 WIB
Gawat! Cegah Dibeli Pelajar, Peneliti Minta Wajib Tunjukkan KTP Saat Beli Rokok
Ilustrasi perokok anak usia pelajar. (Suara.com/Fajar Ramadhan)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peneliti beri rekomendasi kebijakan mencegah perokok anak sekaligus perokok pelajar di Indonesia, seraya menunggu Rancangan Undang-undang atau RPP Kesehatan disahkan Presiden Joko Widodo. Salah satunya penegasan identitas pembeli rokok di atas 18 tahun, dengan melampirkan KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Rekomendasi ini disampaikan Project Lead for Tobacco Control di Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Beladenta Amalia. Ia mengatakan saat ini anak di bawah umur seperti pelajar sangat mudah mengakses rokok, karena pembeliannya tidak melalui proses verifikasi identitas.

Perempuan yang akrab disapa Bela ini mengatakan temuan didapatkan dari hasil penelitian terhadap siswa SMP dan SMA berusia 10 hingga 18 tahun di DKI Jakarta. CISDI melalui Forum Grup Diskusi (FGD) mendapati pengakuan para siswa yang bisa membeli rokok dengan mudah di warung kelontong atau di supermarket.

Ilustrasi perokok anak sekolah. (Suara.com/Fajar Ramadhan)
Ilustrasi siswa merokok, perokok anak sekolah. (Suara.com/Fajar Ramadhan)

"Jadi dari studi CISDI wawancara anak SMP dan SMA mereka ditanya mereka dapatkan itu (rokok), mereka dari warung sekitar sekolah, mereka nggak dicek identitas KTP-nya," ungkap Bela saat dihubungi suara.com beberap waktu lalu.

Baca Juga: Asosiasi Konsumen: Produk Tembakau Alternatif Tak Pernah Ditujukan bagi Anak-anak

Kondisi ini menurut Bela cukup kontras, mengingat dalam produk rokok dijelaskan jika hanya bisa diakses di atas untuk orang berusia di atas 18 tahun. Sedangkan siswa umumnya membeli rokok sepulang sekolah, bahkan sekalipun masih menggunakan seragam.

"Harusnya 18 tahun ke atas, anak sekolah pakai seragam harusnya dicek, mereka nggak menerapkan itu, ada faktor penerapan nggak baik, kalau ada aturan sudah baik, penerapannya harus ditingkat," papar Bela.

Saran hampir serupa juga disampaikan Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Risky Kusuma Hartono, PhD yang berfokus harga rokok murah mudah diakses kalangan menengah ke bawah. Padahal alih-alih membeli rokok, uang tersebut bisa digunakan untuk makanan lebih bergizi.

Inilah sebabnya kata Risky, layanan upaya berhenti merokok (UBM) Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FKTP) bisa bekerjasama dengan Dinas Sosial, dalam hal ini penyaluran bantuan sosial (bansos) penerimanya harus dimasukan dalam program UBM bila anggota keluarganya ada merokok.

Kondisi ini kata Risky serupa dengan pada masa pandemi Covid-19, dimana penerima bansos harus mendapatkan vaksinasi lebih dulu sebelum menerima bantuan dari pemerintah.

Baca Juga: Viral Oknum Pegawai Dishub Palak Sopir Pick Up di Kawasan Daan Mogot, Netizen: Bukti Jelas Apa Ada Tindakan?

"Ini juga bisa diterapkan di UBM, jadi sertifikat mereka sudah di UBM digunakan untuk ambil bansos. Jadi ada pengendalian konsumsi produk tembakau, untuk sertifikat UBM, apalagi bansosnya tunai khawatir dibelikan rokok," ungkap Risky.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI