Suara.com - Penggunaan teknologi AI menjadi salah satu inovasi yang sangat membantu dalam bidang kesehatan. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, hal ini juga sangat membantu bagi peran dokter dalam mendeteksi berbagai penyakit tidak menular, seperti jantung dan lainnya.
Pasalnya, menurut Budi Gunadi Sadikin, penggunaan AI akan membuat deteksi lebih mudah, cepat, dan presisi. Sementar penggunaan alat seperti stetoskop menurutnya justru tidak ilmiah.
“Sebelumnya, dokter deteksi penyakit jantung menggunakan stetoskop, mendengarkan detak jantungnya, lalu didiagnosis menderita jantung. Menurut saya ini tidak ilmiah, bagaimana mungkin dokter tahu kalau itu penyakit jantung hanya dari suaranya,” ujar Budi dikutip dalam rilis Kemenkes beberapa waktu lalu.
Terkait penggunaan stetoskop yang tidak ilmiah ini menjadi perhatian. Pasalnya, para dokter sendiri justru banyak yang menggunakan stetoskop dalam mendeteksi maupun diagnosis penyakit.
Baca Juga: Sama-Sama Dapat Hidayah dari Mimpi, Begini Kisah Mualaf Dokter Tirta dan Nathalie Holscher
Berdasarkan keterangan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Dr. dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, K-KV, FINASIM, stetoskop sendiri masih diajarkan pada pendidikan dokter di Indonesia. Sementara untuk diagnosis sendiri sebenarnya dapat dibuat berdasarkan proses wawancara medis alias anamnesis. Hal ini dapat mengungkap 80 persen kondisi pasien.
“(Stetoskop) masih diajarkan di semua pusat pendidikan dokter di seluruh dunia, bagian dari menegakkan diagnosis. Proses menegakkan diagnosis harus dimulai dengan anamnesis atau wawancara medis dengan pasien atau keluarganya. Dari wawancara medis ini biasanya sudah bisa menegakkan diagnosis sampai 8 persen, setelah itu masuk pemeriksaan fisik pasien. Di sini dimulai dari melihat seluruh tubuh,” kata dr. Ika saat dihubungi Suara.com, Sabtu (8/6/2024).
Sementara itu, penggunaan stetoskop nantinya akan memeriksa getaran dinding dada maupun perubahan suara dengan menempelkannya ke bagian yang akan diperiksa. Penggunaan stetoskop ini juga untuk memastikan hal-hal yang didapat dari pemeriksaan sebelumnya.
“Tentu bukan melihat, juga memeriksa dengan merasakan getaran dinding dada, perubahan suara dan beberapa teknik pemeriksaan menggunakan tangan, dengan menempel tangan ke bagian yang akan diperiksa. Setelah perabaan selesai, baru menggunakan stetoskop untuk menjadi pemasti hal-hal yang didapatkan sebelumnya,” jelasnya.
Setelah itu, baru dilakukan pemeriksaan fisik yang menunjang seperti cek laboratorium, CT scan, rontgen, dan lain-lain.
Baca Juga: Jangan Anggap Enteng, Gondongan yang Dibiarkan Bisa Bikin Hilang Pendengaran!
“Setelah semua proses pemeriksaan fisik, baru masuk pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, dan pemeriksaan pencitraan seperti rontgen dan ultra sound atau CT scan,” sambung dr. Ika.
Oleh sebab itu, penggunaan stetoskop ini difungsikan untuk memastikan dari hasil temuan ultrasound yang abnormal. Misalnya, apakah itu sesuai dengan suara jantung yang didapatkan stetoskop atau tidak.
Untuk itu, menurut dr. Ika, dalam penggunaan alat kesehatan ini, hal yang utama adalah kemampuan dokter tersebut. Apapun alatnya, selama dokternya terlatih dengan baik, tetap dapat mendeteksi dan diagnosis dengan tepat nantinya.
“Jadi semua alat tersebut tentu akan berguna pada orang-orang yang terlatih dan biasa menggunakannya. Proses menegakkan diagnosis tentu perlu latihan dan pengalaman. Makanya wajib magang kalau di pendidikan kedokteran. Menambah jam terbang serta belajar dari pengalaman senior dan gurunya,” jelasnya.
Meski demikian, ia mengatakan kalau penggunaan AI sendiri memang memberikan dampak baik. Hal ini dapat digunakan untuk mempercepat pendekatan diagnosis pasien. Hanya saja, hal ini tetap kembali dan dikonfirmasi oleh dokter masing-masing.
“AI tepatnya berupaya mempercepat proses mendekati penegakkan diagnosis. Walau akhirnya harus dikonfirmasi dengan kemampuan dokter masing-masing,” pungkas dr. Ika.