Penghasilan Orang Stunting 22% Lebih Rendah dari yang Tidak Stunting, Indonesia Emas Bisa Gagal?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 09 Mei 2024 | 15:50 WIB
Penghasilan Orang Stunting 22% Lebih Rendah dari yang Tidak Stunting, Indonesia Emas Bisa Gagal?
Ilustrasi stunting. [Ist]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kepala BKKBN, dokter Hasto Wardoyo, mengatakan pendapatan orang yang stunting lebih rendah dari mereka yang tidak stunting. Hal ini berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan pendapatan perkapita daerah. Terlebih pada bonus demografi yang periodenya sedang berlangsung di Indonesia saat ini.

“Pendapatan orang yang stunting selisih 22% dibandingkan orang yang tidak stunting. Oleh karena itu, bagaimana menanggung orangtuanya kalau anaknya saja stunting. Inilah masalah,” jelas dokter Hasto dalam keterangannya baru-baru ini. 

“Sekarang ini sekolah vokasi, dan kesempatan kerja (dapat) menurunkan stunting. Kalau tidak, nantinya yang ditanggung generasi muda adalah para orangtua yang populasinya merupakan generasi stunting,” tambahnya.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo memberi keterangan pada wartawan, Rabu (29/6/2022). [Hiskia Andika Weadcaksana / Suarajogja.id]
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo memberi keterangan pada wartawan, Rabu (29/6/2022). [Hiskia Andika Weadcaksana / Suarajogja.id]

Dokter Hasto mengungkapkan bahwa kualitas SDM adalah kunci keberhasilan pemanfaatan bonus demografi. Sebaliknya, bila kualitas SDM di Indonesia rendah, beban orang-orang tua yang akan ditanggung generasi muda akan semakin besar.

Baca Juga: Setelah Jadi Wapres Terpilih, Gibran Tancap Gas ke Penjaringan, Ternyata Pengin Ini

“Orangtua yang memenuhi populasi ini adalah wanita yang lebih banyak dari laki-laki karena perempuan panjang umurnya. Sehingga populasi orangtua berstatus janda lebih banyak daripada laki-laki. Miskin ekstrim juga akan didominasi oleh janda-janda. Karena janda-janda itu unmodifiable - tidak bisa diubah. Karena janda yang sudah terlanjur tua tidak bisa diubah jadi produktif karena pendidikannya rendah,” terang dokter Hasto.

Dokyer Hasto mengatakan, puncak bonus demografi di Provinsi Bengkulu sudah terjadi tahun 2020 lalu dan bervariasi pada masing-masing kota dan kabupaten. Ia mendorong para kepala daerah di Bengkulu untuk segera memanfaatkan bonus demografi saat ini sebelum terlambat.

Dari paparan dokter Hasto, diketahui bahwa jumlah pemakaian KB di beberapa kota dan kabupaten ternyata menjadi perhatian dokter Hasto. Ini karena KB berkontribusi menurunkan stunting.

“Ada risiko keluarga yang stunting. Ini kalau KBnya bagus, risiko stuntingnya turun. Tapi ini ada yang anomali, di kota Bengkulu pemakaian KB nya rendah tapi stunting justru turunnya bagus. Ini terjadi karena ada gerakan untuk memberikan makanan melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dengan anggaran Baznas,” jelasnya.

Dokter Hasto juga menginformasikan bahwa Indeks Kebahagiaan di Bengkulu tergolong lumayan baik. "Naik pesat. Tenteram, Bahagia, Kota Bengkulu menduduki indeks kebahagiaan paling baik di Provinsi Bengkulu,” ujarnya.

Baca Juga: Kemenag Libatkan 9 Ribu Penghulu dan 50 Ribu Penyuluh Agama Kampanye Pencegahan Stunting

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI