Suara.com - Gangguan interaksi seperti autisme biasanya diidap seseorang sejak masih berusia dini. Begitu pula dengan gangguan mental seperti ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Namun, kedua gangguan itu berbeda gejala juga waktu diagnosisnya.
Dokter anak konsultan neurologi Prof Dr. dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)., mengatakan bahwa gejala autis bahkan bisa disadari sejak anak masih berusia beberapa bulan. Sementara ADHD baru bisa didiagnosis saat anak sudah balita.
"Tidak boleh diagnosis ADHD kepada anak sebelum usianya 4 tahun. Lain antara ADHD dan autis," kata Prof. Hardiono saat konferensi pers Special Kids Expo (SPEKIX) 2024 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan bahwa autis punya dua gejala khas. Gejala pertama berupa gangguan interaksi dan gangguan komunikasi termasuk tidak bisa bicara. Kedua, melakukan sesuatu secara berulang dalam waktu lama dan di tempat yang tidak sesuai.
Baca Juga: Miris! Demi Bikin Konten Mundur Wir untuk Sindir Capres, 2 Wanita Ini Senggol Anak Autis?
"Misalnya sering putar-putar roda, senang menyeret mainan dalam waktu lama. Juga ada gangguan interaksi dan komunikasi, diajak bicara nggak mau melihat mata. Pengalaman, kebanyakan anak baru datang sudah nggak mau bicara, umur 2 tahun nggak mau bicara," ungkap Prof. Hardiono.
Bila sudah begitu, orang tua sering kali salah kaprah karena mengira kalau anaknya alami keterlambatan bicara atau speech delay. Padahal, tanda autis bisa jadi terlihat sejak anak masih umur 4 bulan. Tanda paling mudah terlihat yakni anak tidak merespon ketika diajak bermain. Padahal usia 4 bulan seharusnya bayi sudah bisa mengenali suara sekitarnya.
Sementara itu, perbedaan paling jelas antara autis dan ADHD terlihat pada kemampuan komunikasi. Prof. Hardiono mengatakan kalau ADHD tidak menyebabkan anak alami gangguan berbahasa dan komunikasi. Hanya saja sikapnya akan lebih hiperaktif dibandingkan anak sebayanya. Meski jarang, Prof. Hardiono menyampaikan kalau anak bisa jadi alami autis dan ADHD sekaligus.
"Diagnosis itu harus dilakukan oleh dokter anak dan psikolog. Terapis gak boleh bikin diagnosis. Kalau ada orang tawarkan terapi, tanyakan papernya apa, kalau hanya berdasarkan cerita orang, sebaiknya jangan terima," pesan Prof. Hardiono.
Baca Juga: Psikolog Lita Gading Ragukan Fuji Idap ADHD: Cuma Buat Sensasi?