Suara.com - Pemerintah Kota Jakarta Selatan (Pemkot Jaksel) mengonfirmasi bahwa kasus demam berdarah dengue (DBD) di wilayah mereka kini menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di Ibu Kota.
Melansir ANTARA, Kepala Suku Dinas Kesehatan, Jakarta Selatan (Sudinkes Jaksel) Yudi Dimyati, data terbaru menunjukkan bahwa kasus DBD di Jaksel telah mencapai 221 kasus, melampaui angka di enam wilayah lainnya di DKI Jakarta, termasuk Jakarta Pusat, Timur, Barat, Utara, dan Kabupaten Kepulauan Seribu.
"Dibandingkan dengan data bulan yang sama tahun lalu, jumlah kasus DBD meningkat hingga dua kali lipat dari 100 kasus menjadi 221 kasus," ungkap Yudi. "Tingkat peningkatan ini sesuai dengan prediksi yang telah disampaikan oleh Kementerian Kesehatan."
Yudi menjelaskan bahwa gejala DBD biasanya dimulai dengan demam tinggi, dan ia menyarankan agar sebelum dibawa ke rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya, penting untuk memperbanyak minum air putih serta mengonsumsi makanan bergizi dalam jumlah yang lebih banyak. Pencegahan lainnya termasuk menurunkan panas dengan kompres dan obat penurun panas.
Baca Juga: Syahnaz Sadiqah Dilarikan ke Rumah Sakit, Kondisinya Memprihatinkan
Berdasarkan data yang ada, Jakarta Selatan menjadi penyumbang kasus DBD terbanyak di DKI Jakarta, diikuti oleh Jakarta Barat dan Jakarta Timur.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Ani Ruspitawati, menyampaikan bahwa prediksi mereka menunjukkan kasus DBD masih akan terus meningkat hingga Mei 2024, yang disebabkan oleh kondisi iklim. Namun, ia berharap bahwa perubahan iklim yang lebih baik dapat membantu menurunkan kasus DBD di Jakarta.
Pemerintah setempat terus mengambil langkah-langkah untuk mengatasi peningkatan kasus DBD, sambil terus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pencegahan dan perawatan yang tepat untuk menghindari penyakit ini.
Praktisi Kesehatan Masyarakat Ungkap Alasan Kasus DBD Melonjak
raktisi Kesehatan Masyarakat, Ngabila Salama, menyoroti peningkatan kasus demam berdarah (DBD) di Indonesia yang diyakini terkait erat dengan perubahan cuaca yang semakin ekstrem.
Baca Juga: Terkuak! Koboi Jalanan Mampang Prapatan Beli Airsoft Gun Rp2 Juta dari Temannya di Padang
Menurutnya, fenomena kenaikan kasus DBD sering terjadi secara periodik, dengan puncaknya terjadi per tiga tahun, seperti yang terjadi pada tahun 2016, 2019, dan 2022. Namun, pada tahun ini, prediksi puncak kasus DBD terjadi sedikit lebih cepat, diduga disebabkan oleh peralihan cuaca dari La Nina ke El Nino yang sedikit berbeda.
Ngabila menekankan pentingnya keterlibatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta ahli entomologi (ahli nyamuk) untuk mencari solusi terkait pengaruh iklim dan cuaca terhadap pola perilaku nyamuk yang dapat mempengaruhi penyebaran DBD.
"Perubahan iklim, terutama kelembapan udara dan tetesan air hujan, memiliki peran penting dalam naik turunnya kasus DBD," katanya.
Dia juga memberikan penjelasan terkait indikasi demam yang dicurigai sebagai DBD, serta pentingnya melakukan penapisan infeksi lain, seperti influenzae, parainfluenzae, adenovirus, dan lainnya.
Salah satu langkah pencegahan yang dianggap penting adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan pendekatan 3M Plus, yang tidak hanya dilakukan di rumah atau pemukiman, tetapi juga di taman dan area publik lainnya.
Ngabila juga menekankan pentingnya surveilans aktif berbasis masyarakat, peningkatan sistem rujukan dari puskesmas ke rumah sakit, serta pentingnya pelaporan kasus DBD secara cepat untuk memungkinkan penyelidikan dan tindakan yang diperlukan.