Kenali Kematian Jantung Mendadak Akibat Aritmia dan Pencegahannya dengan Defibrilator Bawah Kulit Pertama di Indonesia

Vania Rossa Suara.Com
Selasa, 26 Maret 2024 | 12:04 WIB
Kenali Kematian Jantung Mendadak Akibat Aritmia dan Pencegahannya dengan Defibrilator Bawah Kulit Pertama di Indonesia
Ilustrasi sakit jantung (pixabay/pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penyakit jantung memiliki beberapa jenis yang seringkali terjadi secara mendadak, tak terkecuali pada tubuh yang sehat. Jenis penyakit jantung yang paling sering mengakibatkan henti jantung adalah gangguan irama jantung (aritmia) yang berupa fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel yang cepat.

Di Indonesia, jumlah pasien yang meninggal akibat kematian jantung mendadak diperkirakan lebih dari 100.000 jiwa per tahun. Salah satu jenis yang muncul adalah Sindroma Brugada, gangguan aritmia yang terjadi pada pasien tanpa keluhan.

Sindrom Brugada ini menjadi penyumbang terbesar kematian jantung mendadak pada individu yang sehat (>20%) terutama di daerah Asia Tenggara. Penderita akan mengalami impuls listrik pada sel di bilik kanan atas jantung hingga menyebabkan jantung mudah berdetak dengan cepat.

Untuk penanganannya, perlu dilakukan pemasangan alat kardiak defibrilator implan (ICD) agar mampu menormalkan denyut jantung sehingga terhindar dari risiko fatal. Dan dengan kemajuan teknologi, pemasangan ICD kini tak perlu langsung di jantung, tetapi di bawah kulit melalui metode Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator (S-ICD).

Baca Juga: Tips Hindari Nyeri Dada Berulang pada Pasien Penyakit Jantung yang Sudah Pasang Ring

Proses pemasangan S-ICD di Heartology Cardiovascular Hospital. (Dok. Heartology Cardiovascular Hospital)
Proses pemasangan S-ICD di Heartology Cardiovascular Hospital. (Dok. Heartology Cardiovascular Hospital)

Pemasangan S-ICD pertama telah berhasil dilakukan pada tanggal 9 Maret 2024 lalu, terhadap seorang pasien Sindrom Brugada berjenis kelamin laki-laki usia 46 tahun, di Heartology Cardiovascular Hospital.

Pasien tersebut dirujuk dari Papua ke Heartology Cardiovascular Hospital untuk dilakukan pemeriksaan jantung. Pasien relatif tanpa keluhan, namun dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), ditemukan gambaran gangguan aritmia yang disebut Sindrom Brugada.

"Penderita Sindrom Brugada memiliki cacat pada saluran ini dan menyebabkan jantung mudah berdetak dengan
sangat cepat (fibrilasi ventrikel). Akibatnya, irama jantung terganggu dan bisa berakibat fatal,” kata dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, saat ditemui di Jakarta, Senin (25/3/2024).

"Dengan kemajuan teknologi, saat ini pemasangan ICD tidak perlu langsung di jantung, namun cukup dipasang di bawah kulit, yang disebut S-ICD atau subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator. Hal ini mampu memberi komplikasi lebih kecil. Yang tidak kalah penting, aktivitas pasien lebih tidak terganggu,” tambah dr. Sunu.

Lebih lanjut, dr. Sunu mengatakan bahwa gejala yang timbul dari sindrom Brugada tidak jauh berbeda dengan gangguan irama jantung lainnya, seperti rasa berdebar, pingsan, kejang, sampai meninggal mendadak.

Baca Juga: Tak Cuma Dewasa, Anak Juga Bisa Idap Penyakit Jantung Bawaan, Yuk Deteksi Sejak dalam Kandungan!

Sampai saat ini, penyebab sindrom Brugada belum jelas. Akan tetapi, faktor genetik dipercaya memberi kontribusi yang penting.

Dari hasil interview terhadap pasien yang melakukan pemasangan S-ICD, didadapat informasi bahwa kakak kandung pasien meninggal mendadak pada usia 50an.

Pada pemeriksaan lanjutan, ditemukan bahwa pada pasien ini sangat mudah tercetus fibrilasi ventrikel, sebuah irama jantung supercepat yang mengancam nyawa. Kondisi tersebut menyebabkan jantung dapat berhenti di waktu yang tidak diketahui.

Dengan terpasangnya alat ICD pada seseorang yang berisiko tinggi, saat terjadi denyut jantung supercepat, alat akan secara otomatis menghentikan dengan sebuah energi kejut. Dengan begitu, orang tersebut terhindar dari risiko yang fatal.

Menilik manfaat tersebut, berbagai organisasi profesi nasional dan internasional telah memberikan rekomendasi klas-1 untuk pemasangan ICD pada pasien yang berisiko tinggi terjadi KJM. Namun sayangnya, dengan estimasi KJM sebesar >100.000 per tahun di Indonesia, implantasi alat ICD ini belum bisa di-cover dengan pembiayaan BPJS.

Selain implantasi ICD, tatalaksana lain dari sebuah gangguan irama jantung dapat berupa tindakan kateter ablasi 3 dimensi. Saat ini Heartology Cardiovascular Hospital juga dilengkapi alat ablasi 3D yang termutakhir yaitu, EnsiteX, yang akan memberikan akurasi tinggi dalam manajemen berbagai gangguan aritmia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI