Suara.com - Hari Ginjal Sedunia (World Kidney Day atau WKD) yang jatuh di setiap hari Kamis pada minggu kedua di bulan Maret setiap tahunnya, kembali diperingati di Indonesia dan di seluruh dunia pada tanggal 14 Maret 2024.
Pada tahun ini, WKD mengusung tema ‘Kidney Health for All: Advancing equitable access to care and optimal medication practice’ yang secara spesifik mengajak seluruh lapisan masyarakat khususnya pemangku kebijakan untuk meningkatkan pemerataan akses pelayanan kesehatan dan praktik pengobatan yang optimal dan komprehensif.
Terlebih, Penyakit Ginjal Kronik (PGK) tercatat sebagai penyebab 4,6% kematian global pada tahun 2017, angka ini diprediksi akan terus meningkat dan PGK diperkirakan akan menjadi penyebab kematian tertinggi ke-5 di seluruh dunia pada tahun 2040.
Di Indonesia, prevalensi PGK semakin meningkat setiap tahun, bila tidak diobati suatu ketika dapat mengalami gagal ginjal. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan tahun 2018, prevalensi PGK adalah 0,38%.
Baca Juga: Kurikulum Merdeka dan Tantangan Masa Depan
Data registri Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada tahun 2020 menunjukkan insidensi kumulatif pasien yang menjalani dialisis (cuci darah) 61.786, dan prevalensi kumulatif 130.931.
Hambatan Pelayanan Penyakit Ginjal di Indonesia
Penyebab utama gagal ginjal adalah tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kencing manis (diabetes). Tingginya angka gagal ginjal ini tidak hanya menjadi beban bagi pasien dan keluarga tetapi juga beban bagi negara dimana biaya yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan sangat tinggi.
Selama tiga dekade terakhir, upaya pengobatan PGK berpusat pada persiapan dan pemberian terapi pengganti ginjal. Namun, terobosan terapeutik akhir-akhir ini menitikberatkan pada pencegahan atau menghambat progresivitas dan mengurangi komplikasi seperti penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal, yang pada akhirnya memperpanjang kualitas hidup pasien dengan PGK.
Meskipun terapi-terapi baru ini harus dapat diakses secara universal oleh semua pasien, di setiap negara, terdapat beberapa hambatan seperti kurangnya kesadaran terhadap PGK, kurangnya pengetahuan atau kepercayaan diri terhadap strategi terapi baru, kurangnya jumlah konsultan ginjal hipertensi, dan tingginya biaya pengobatan yang berkontribusi terhadap kesenjangan yang besar dalam akses terhadap pengobatan, khususnya di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, namun juga di beberapa negara berpendapatan tinggi.
Baca Juga: Ditunjuk sebagai Kabid Binpres PBSI, Ini Tantangan Berat buat Ricky Subagja
Ketimpangan ini menekankan perlunya mengalihkan fokus ke arah kesadaran terhadap PGK dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan. Untuk mencapai pelayanan kesehatan ginjal yang optimal diperlukan upaya untuk mengatasi hambatan di berbagai tingkatan sambil mempertimbangkan perbedaan kontekstual di seluruh wilayah dunia.
Hal ini mencakup kesenjangan dalam diagnosis dini, kurangnya layanan kesehatan yang menyeluruh, cakupan asuransi, rendahnya kesadaran di kalangan petugas kesehatan, dan tantangan terhadap biaya pengobatan dan aksesibilitas.
Pelayanan Penyakit Ginjal Belum Merata
Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, yang mewakili Menteri Kesehatan RI, dalam sambutannya menjelaskan bahwa Penyakit Ginjal menjadi salah satu perhatian utama dikarenakan jumlahnya yang semakin meningkat dan termasuk dalam penyakit katastropfik dengan pembiayaan JKN terbesar ke-3 setelah penyakit kardiovaskular dan kanker.
Beban global yang besar pada PGK menyebabkan penatalaksanaan PGK sendiri tidak hanya berpusat pada penatalaksana penderita, namun juga pencegahan pada populasi berisiko. Namun saat ini, pelayanan penyakit ginjal khususnya belum merata di seluruh kabupaten dan kota.
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan perbaikan pelayanan kesehatan layanan kesehatan adalah dengan program transformasi layanan kesehatan.
Salah satu pilar layanan kesehatan adalah layanan kesehatan primer dimana disini akan ditingkatkan program preventif dan promotive penyakit ginjal kronik dengan FKTP sebagai wadah pelaksana utama.
Selain itu, salah satu pilar transformasi lainnya adalah transformasi layanan rujukan yang bertujuan untuk memperluas cakupan layanan penyakit ginjal kronik yang diantaranya adalah HD, CAPD dan transplantasi ginjal.
Deputi direksi bidang KPM Dr. dr. Ari Dwi Aryani, MKM menyampaikan bahwa beban pelayanan kesehatan pada gagal ginjal semakin meningkat setiap tahunnya. Salah satu penyebab kenaikan biaya kesehatan ini karena keterbukaannya akses layanan kesehatan yang meningkat akibat meningkatnya pemanfaatan JKN oleh masyarakat.
Inovasi-inovasi terkait pelayanan kesehatan terkait pasien gagal ginjal perlu dilakukan agar hak masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi namun masih dapat menurunkan biaya kesehatan.
Dokter Ari juga menekankan bahwa permasalahan kesehatan masyarakat tidak hanya menitikberatkan pada jumlah penderita dan pembiayaan pasien, namun juga menekankan pada control faktor risiko seperti prediabetes, diabetes, hipertensi dan diabetes yang sangat mempengaruhi angka penyakit tidak menular seperti Penyakit Ginjal Kronik.
Upaya pengendalian faktor risiko ini berupa skrining yang bekerjasama dengan FKTP melalui pemanfaatan aplikasi mobile JKN untuk mengidentifikasi individu yang berisiko tinggi untuk mengelami penyakit tidak menular.
Ibu Apt. Lisia Margaret sebagai Product Manager PT. Etana Bisotechnologies Indonesia menyampaikan mengenai peran sektor swasta dalam edukasi dan pelayanan kesehatan ginjal. PT. Etana sebagai mitra farmasi mengetahui secara baik kebutuhan informasi pasien-pasien gagal ginjal mengenai penyakitnya.
Sehingga, kata dia, pihaknya melakukan edukasi berkerjasama dengan dokter dan komunitas pasien kepada pasien gagal ginjal baik di Rumah Sakit atau di acara perhimpunan. Selain edukasi, upaya kolaborasi dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ginjal.
Diantaranya adalah kolaborasi uji klinis dengan Rumah Sakit dan universitas untuk menghasilkan produk dalam negeri yang berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan gagal ginjal.