70 Persen Alat Kesehatan Masih Impor, Begini Strategi Kurangi Ketergantungan dari Luar Negeri

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Jum'at, 08 Desember 2023 | 11:15 WIB
70 Persen Alat Kesehatan Masih Impor, Begini Strategi Kurangi Ketergantungan dari Luar Negeri
Ilustrasi alat kesehatan. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Industri farmasi dan alat kesehatan di tanah air sampai saat ini masih mengalami ketergantungan pada negara lain, mulai dari bahan baku hingga teknologi. Dalam keterangannya, Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Dr. DRA. Lucia Rizka Andalucia M.Pharm , MARS mengatakan, selama masa pandemi Indonesia mengalami kesulitan mulai dari obat, alat kesehatan hingga oksigen.

Meresepons situasi itu, Kemenkes berkomitmen melaksanakan transformasi kesehatan dengan enam pilar yaitu transformasi layanan primer, layanan rujukan, Sumber Daya Manusia (SDM), ketahanan kesehatan, pembiayaan dan sistem digital.

"Pelayanan kesehatan primer menjadi lebih utama dari sekedar mengobati. Kebutuhan akan kesehatan di tanah air akan tumbuh. Paling tidak kebutuhan alat kesehatan juga bisa tumbuh sekitar 12% di tahun 2023,” ujar Lucia Rizka baru-baru ini. 

Kondisi pertumbuhan ini justru masih menghadapi tantangan dari suplai alat kesehatan. Lucia mengatakan bahwa masih banyak alat kesehatan yang merupakan produk impor.

Baca Juga: COVID-19 di Singapura dan Malaysia Naik Drastis, Kemenkes Minta Tetap Terapkan Prokes

Ilustrasi alat kesehatan.[Pexels.com/SCIETIST]
Ilustrasi alat kesehatan.[Pexels.com/SCIETIST]

Hingga kini  setidaknya 70 persen alat kesehatan di Indonesia masih didatangkan dari negara lain. Di sisi lain investasi negara dari APBN untuk riset kesehatan masih rendah hanya 0,2 persen dari APBN.

Melihat kebutuhan alkes yang cukup tinggi dan masih di dominasi oleh impor, STEI-ITB dan PT Selaras Citra Nusantara Perkasa Tbk (SCNP) berkolaborasi melakukan kegiatan riset dan pengembangan AKD yaitu NIVA (Non-Invasive Vascular Analyzer).

Dokter senior spesialis jantung, dr. Jetty H Sedyawan, Sp. JP (K), FIHA, FAPCC, FAsCC mengatakan, bahwa peraturan pemerintah impor alat kesehatan sudah tidak boleh, dan saat ini sudah 42,6 persen. Saat ini produk NIVA sudah masuk ke dalam E-katalog kementerian kesehatan sehingga sudah bisa di beli oleh rumah sakit milik pemerintah.

NIVA (Non-Invasive Vascular Analyzer) telah mengantongi izin edar alkes dalam negeri dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diterbitkan Maret 2023 lalu, izin edar tersebut diberikan melalui PT. Selaras Citra Nusantara Perkasa, Tbk (SCNP). Dengan ini maka NIVA menjadi alat kesehatan dalam negeri (AKD) pertama yang telah resmi digunakan.

Mengacu pada data di situs BPJS Kesehatan, Penyakit jantung dan pembuluh darah masih menjadi top killer disease. Data menyebutkan bahwa cardiovascular diseases masih menjadi perhatian utama Pemerintah dalam aspek pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Baca Juga: Maraknya Bencana Alam Hingga Wabah di Indonesia, Kemenkes Harap TCK Jadi Garda Pembantu Penanganan Kesehatan

Ini disebabkan penyakit jantung termasuk kategori katastropik dan menjadi penyakit yang menelan biaya sangat besar dalam program JKN yang sangat membebani Anggaran Negara. Perlu sinergi ragam pihak di industri yang didukung oleh Pemerintah agar dapat mewujudkan program kesehatan jantung dan pembuluh darah secara efektif dalam upaya penghematan anggaran.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI