Suara.com - Tuberkulosis atau TBC menjadi salah satu penyakit yang saat ini masih menjadi masalah bagi banyak orang. Bahkan, Indonesia menjadi negara dengan peringkat ke-2 penderita TBC terbanyak di dunia.
Selain itu, saat ini juga menjadi penyakit yang bermasalah bagi anak-anak. Perawat Pelaksana TBC Puskesmas Jagakarsa, Dedy Anwar mengungkapkan, meski tidak banyak, kasus TBC juga tetap ada pada anak-anak hingga remaja.
Biasanya, kasus TBC pada anak ini terjadi pada mereka yang berusia 14-17 tahun. Sebab adanya kasus tersebut, saat ini juga mulai banyak program skrining di berbagai sekolah hingga pesantren.
“Kalau kasus anak itu enggak banyak, tapi ada. TB kalau untuk anak sekolah itu umur 14, 15 tahun sampai 17 tahun. Sementara kalau skrining di sekolah dan pesantren sudah diprogramkan,” ucap Dedy saat diwawancari dalam acara Edukasi dan Skrining PTM-TBC di Pesantren Daarul Rahman, Jakarta Selatan, Selasa (14/11/2023).
Baca Juga: Polusi Udara Rentan Sebabkan Tuberkulosis (TB) Pada Lansia, Ini 6 Cara Mencegahnya!
Berdasarkan keterangan Dedy, banyaknya kasus TBC pada anak terjadi kebanyakan karena tertular kontak erat penderita. Pasien yang menderita juga tidak teratur minum obat. Selain itu, penderita juga tidak mengenakan masker sehingga menularkannya kepada temannya.
Anak yang tertular biasanya juga tidak menyadarinya. Pasalnya, memang hal ini anak tidak tahu karena kekhawatiran munculnya stigma negatif yang muncul.
“Sejauh ini Kebanyakan karena kontak erat lalu kambuh dan obatnya tidak teratur kemudian di sekolah nggak pakai masker kemudian saat dia positif dia nggak pakai masker mereka juga nggak tahu,” ucap Dedy.
“Kalau temennya alami sakit karena dikhawatirkan ada stigma negatif takutnya dijauhkan,” sambungnya.
Oleh sebab itu, ia berharap agar stigma negatif terhadap TBC ini bisa dihilangkan. Selain itu, pasien juga dapat disembuhkan dengan menjalankan pengobatan intensif secara terus menerus.
Baca Juga: BPJS Kesehatan Bersama Kemenkes Luncurkan Program Pembiayaan Tuberkulosis
“Kalau keinginan supaya TBC tidak ada stigma negatif karena bisa disembuhkan dengan pengobatan insentif selama 6 bulan terus menerus tanpa putus pengobatan dan masyarakat juga harus bisa menerima kondisi orang yang sakit TB,” ucap Dedy.
Melihat pentingnya hal tersebut, Yayasan Lentera Anak, bersama dengan Laznas Bakrie Amanah, Puskesmas Kesehatan Jagakarsa mengadakan edukasi sekaligus skrining TBC dan penyakit tidak menular (PTM) pada anak-anak yang ada di Pondok Pesantren Daarul Rahman.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari mengatakan, edukasi dan skrining ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada anak-anak di pesantren. Selain itu, ini juga menjadi cara pemenuhan hak anak akan kesehatan yang lebih baik dan terhindar dari TBC.
“Ini adalah salah satu upaya kami untuk pemenuhan hak anak atas kesehatan terutama kami fokus hari ini untuk streaming penyakit tidak menular dan skrining TB. Apalagi pesantren atau sekolah tempat yang potensial,” ucap Lisda.
Dengan adanya hal ini juga diharap dapat membangun kesadaran anak-anak terkait penyakit TBC dan saling mengingatkan sesama teman dan keluarganya.
“Kami berharap membangun kesadaran Jadi kami berharap mudah-mudahan kegiatan ini membangun kesadaran karena kami percaya banget anak-anak itu sendiri bisa melakukan perannya untuk mencegah gitu kan,” ucapnya.
“Anak-anak itu mereka biasanya kalau mereka tahu itu mereka akan mempengaruhi teman-teman di sekitarnya dan bagi anak-anak bahasa yang atau informasi yang didapatkan dari temannya itu lebih mudah dipahami dan anak-anak itu yang menyampaikan,” lanjut Lisda.
Pihaknya bersama Puskesmas Jagakarsa melakukan pengecekan kurang lebih 200 anak yang melakukan tes skrining TBC dan PTM. Lisda berharap, ini bisa membangun kesadaran anak serta menghilangkan stigma yang ada terkait penyakit TBC.