Kedua obat ini tidak boleh sembarangan digunakan karena bisa menimbulkan efek samping pada tubuh, sehingga harus melalui resep dokter.
Sementara itu Prof. Gelgel juga mengakui penelitian obat herbal masih terbatas di Indonesia dan belum terstruktur dengan baik, sehingga tidak bisa memenuhi tuntutan industri. Kondisi ini akhirnya membuat harga obat yang statusnya sangat dibutuhkan di Indonesia mahal, dari mulai obat hipertensi hingga diabetes karena masih bergantung pada impor.
Alhasil, karena Kementerian Kesehatan mendorong para peneliti semakin banyak membuat studi tentang obat tradisional, penting juga kehadiran Kromatografi Lapis Tipis versi Kinerja Tinggi untuk menganalisis tanaman obat seperti HPTLC.
Teknologi analisis tanaman obat sangat dibutuhkan untuk mempercepat produksi obat herbal dalam negeri, dengan cara profiling tanaman obat. Ini karena meski tanaman obat di Indonesia jumlahnya banyak, tapi tidak tahu mana yang mengandung bahan aktif sesuai kebutuhan.
Kebutuhan itu meliputi kadar bahan aktif di tanaman satu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Seperti misalnya, tanaman sambiloto ada di 11 puncak gunung di Indonesia, tapi dari 11 itu ada 1 yang tidak mengqndung bahan aktif yang dicari, maka tanaman di daerah tersebut tidak bisa digunakan alias dicoret
Atau bisa juga tanaman obat di daerah tersebut kadarnya terlalu rendah sehingga tidak dibutuhkan industri obat. Jadi kesimpulannya, tidak semua sambiloto bisa dibuat sebagai obat herbal. Profilling inilah yang diperlukan, karena acap kali lingkungan, tanah, dan udara mempengaruhi sebuah tanaman termasuk kandungan bahan aktif di dalamnya.
"Saat ini kan yang penting dia sambiloto, pahitan selesai, tapi industri obat herbal tidak bisa seperti itu," pungkas Prof. Gelgel.