Indonesia Punya 17.000 Tanaman Obat, Kenapa Obat Herbal China Lebih Diminati?

Jum'at, 03 November 2023 | 09:16 WIB
Indonesia Punya 17.000 Tanaman Obat, Kenapa Obat Herbal China Lebih Diminati?
Tanaman Obat untuk obat herbal. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesia punya 17.000 tanaman obat yang berpotensi besar jadi obat herbal untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tapi kenapa ya, masyarakat lebih percaya dengan obat tradisional China yang mayoritas ilegal?

Ahli Toksikologi Forensik Universitas Udayana, Prof. I Made Agus Gelgel Wirasuta menjelaskan fonomena ini tidak lepas dari kandungan bahan kimia obat (BKO) yang dimasukan dalam obat herbal tersebut. Sedangkan Indonesia, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melarang praktik itu karena berbahaya untuk kesehatan.

"Obat China yang masuk ke Indonesia itu saya pernah mengontrol ketika dijual sebagai penurun tensi, mereka mengizinkan kalau di China menambahkan BKO," ujar Prof. Gelgel acara konferensi HPTLC Association Indonesia Chapter di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 31 November 2023.

Lelaki yang juga menjabat sebagai President of Indonesia Chapter Of HPTLC Association Udayana University itu menjelaskan karena obat China mengandung BKO yang bisa memberikan hasil instan itu, akhirnya dipercaya masyarakat sebagai obat herbal yang manjur untuk beragam penyakit tertentu.

Baca Juga: Tak Sekedar Pahit, Ini 5 Manfaat Brotowali bagi Kesehatan Tubuh

Ilustrasi Obat Herbal (Freepik)
Ilustrasi Obat Herbal (Freepik)

Padahal itu adalah tindakan penipuan karena produsen tidak menjelaskan secara gamblang, dalam obat herbal itu mengandung bahan kimia obat. Sedangkan regulasi di Indonesia yang dibuat BPOM, jika produk didaftarkan sebagai obat herbal maka 100 persen harus mengandung herbal alami, dan tidak boleh ada chemical seperti BKO.

"Kualitas obat kita sesuai dengan regulasi, organik herbal 100 persen tidak boleh ada chemical di dalamnya. Sehingga hati-hati, karena regulasi di China dan India masih mengizinkan praktik itu," jelas Prof. Gelgel.

Perlu diketahui selaiknya obat, jika BKO dimasukan dalam obat herbal bisa menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan seperti ruam alergi atau bahkan parahnya bisa merusak ginjal. Sedangkan obat herbal umumnya cenderung lebih aman dan minim efek samping, sehingga bisa digunakan untuk jangka panjang karena 100 persen terbuat dari bahan alami.

"Coba saya tipu masyarakat, katakanlah obat flu di dalamnya ada dexametason ada parsetamol, nggak beda jauh kita. Oh itu diketahui tradisional dan herbal yang bagus. Kita itu, karena regulasi kita mengatur, kita menjamin kualitas 100 persen sesuai dengan judulnya, jadi alam ya alam," papar Prof. Gelgel.

Dexametason adalah obat kortikosteroid untuk mengobati peradangan, radang sendi, lupus, hingga gangguan pernapasan.

Baca Juga: GMC Lakukan Sosialisasi Pentingnya Budi Daya Tanaman Toga Kepada Pemuda-Pemudi di Palu

Sedangkan parasetamol adalah obat analgesik dan antipiretik yang banyak digunakan untuk meredakan sakit kepala ringan akut hingga demam.

Kedua obat ini tidak boleh sembarangan digunakan karena bisa menimbulkan efek samping pada tubuh, sehingga harus melalui resep dokter.

Sementara itu Prof. Gelgel juga mengakui penelitian obat herbal masih terbatas di Indonesia dan belum terstruktur dengan baik, sehingga tidak bisa memenuhi tuntutan industri. Kondisi ini akhirnya membuat harga obat yang statusnya sangat dibutuhkan di Indonesia mahal, dari mulai obat hipertensi hingga diabetes karena masih bergantung pada impor.

Alhasil, karena Kementerian Kesehatan mendorong para peneliti semakin banyak membuat studi tentang obat tradisional, penting juga kehadiran Kromatografi Lapis Tipis versi Kinerja Tinggi untuk menganalisis tanaman obat seperti HPTLC.

Teknologi analisis tanaman obat sangat dibutuhkan untuk mempercepat produksi obat herbal dalam negeri, dengan cara profiling tanaman obat. Ini karena meski tanaman obat di Indonesia jumlahnya banyak, tapi tidak tahu mana yang mengandung bahan aktif sesuai kebutuhan.

Kebutuhan itu meliputi kadar bahan aktif di tanaman satu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Seperti misalnya, tanaman sambiloto ada di 11 puncak gunung di Indonesia, tapi dari 11 itu ada 1 yang tidak mengqndung bahan aktif yang dicari, maka tanaman di daerah tersebut tidak bisa digunakan alias dicoret

Atau bisa juga tanaman obat di daerah tersebut kadarnya terlalu rendah sehingga tidak dibutuhkan industri obat. Jadi kesimpulannya, tidak semua sambiloto bisa dibuat sebagai obat herbal. Profilling inilah yang diperlukan, karena acap kali lingkungan, tanah, dan udara mempengaruhi sebuah tanaman termasuk kandungan bahan aktif di dalamnya.

"Saat ini kan yang penting dia sambiloto, pahitan selesai, tapi industri obat herbal tidak bisa seperti itu," pungkas Prof. Gelgel.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI