Suara.com - Kisah inspiratif dibagikan oleh seorang dokter di Palu, Sulawesi Tengah, yang menjadi sosok sentral dalam memutus mata rantai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bagaimana cara ia melakukannya?
dr. Faizah A. Salim, seorang tenaga kesehatan yang bekerja di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Sangurara, Palu, Sulawesi Tengah, tidak yakin ketika seorang anak lelaki berusia lima tahun datang berobat dengan badan penuh luka. Menurut pengakuan orangtuanya, anak terluka karena jatuh dari tangga saat bermain.
Namun dr. Faizah yang sudah mendapat pelatihan tentang tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga curiga dengan luka-luka yang dimiliki anak tersebut. Ia pun merujuk pasien ke seorang pembimbing konseling sosial. Akhirnya diketahui, luka yang didapat si anak bukan karena jatuh dari tangga, tapi karena dipukul oleh ayahnya.
"Pengenalan adalah langkah pertama untuk bisa membantu. Kita perlu melakukan lebih banyak dari sekadar mengobati luka yang bergejala," tuturnya, dalam keterangan yang diterima Suara.com, Kamis (31/8/2023).
Baca Juga: Diduga Menjadi Korban KDRT, Perempuan Warga Semarang Ditemukan Terbujur Kaku di Rumahnya
Puskesmas tempat Faizah berkiprah, merupakan bagian vital dari perwujudan program percontohan UNFPA (United Nations Population Fund). Program ini bertujuan untuk memerangi kekerasan berbasis gender serta berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Ruang lingkupnya meliputi 11 wilayah di Indonesia, termasuk Palu.
Melalui program inovatif ini, UNFPA berdiri teguh di sisi pemerintah, ikut menyusun kebijakan yang berpihak, dan memberikan pelatihan kepada para penyedia layanan kesehatan. Para mitra lokal dipacu untuk menjadi advokat bagi korban, mendorong mereka untuk beraksi, dan mengejar bantuan lebih dari sekadar memulihkan luka.
Semua ini bukanlah sekadar isapan jempol, melainkan bagian dari misi serius yang dipelopori oleh dr. Faizah beserta timnya. Mereka tak hanya menghidupkan forum-forum masyarakat, tetapi juga menjalin sinergi erat dengan berbagai asosiasi di wilayah yang dicakup pusat penelitian ini, semuanya untuk memastikan suara perempuan tak lagi terpinggirkan.
Bukti nyata pun muncul gemilang. Di awal tahun 2023, kiprah para staf di Puskesmas Sangurara berhasil mengungkapkan tujuh kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Angka ini mencolok jika dibandingkan dengan hanya satu atau dua kasus pada tahun-tahun sebelumnya.
“Apakah ini karena advokasi, atau karena kami lebih terlatih untuk mengenali gejala-gejala kekerasan berbasis gender? Mungkin dua-duanya,” kata dr. Faizah.
Baca Juga: 2 September, Partai Gelora Bakal Deklarasi Dukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Meningkat
Meski perjalanan menuju kesetaraan gender telah menorehkan kemajuan pesat, termasuk dalam memperluas akses perempuan dan anak perempuan ke pendidikan, lapangan pekerjaan, dan pelayanan kesehatan, tak dapat disangkal bahwa kekerasan yang bersumber dari perbedaan gender masih merupakan persoalan yang serius di Indonesia.
Norcahyo Budi Waskito, Project Officer di UNFPA Indonesia menekankan bahwa masalah ini tidak hanya berkaitan dengan kesehatan masyarakat, tetapi juga hak asasi manusia.
Statistik yang tercatat mencatat peningkatan kasus dari 216.156 pada tahun 2012 menjadi 457.895 pada tahun 2022, berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Angka-angka ini menggambarkan bahwa usaha-usaha untuk mendorong korban agar berbicara dan melangkah maju telah menghasilkan dampak positif.
Namun, angka-angka ini hanya mengungkapkan permukaan masalah yang lebih dalam, karena kenyataan di balik pintu rumah masih dianggap sebagai hal tabu oleh banyak individu, dan pelaporan kasus ini masih dikaitkan dengan stigma.