Suara.com - Menteri Kesehatan Budi Gunadi mengungkap perilaku kejam bullying dokter di rumah sakit pendidikan milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang sudah mengakar hingga puluhan tahun.
Tak main-main, perilaku bullying dari dokter senior kepada dokter junior ini mulai dari mengurus pakaian kotor diantar ke laundry, hingga kewajiban patungan hingga ratusan juta.
Menurut Menkes Budi, tugas yang bersifat pribadi ini sama sekali tidak berhubungan dengan kompetensi pendidikan kedokteran yang seharusnya diterima para dokter junior.
"Perundungan ini biasanya digunakan dengan alasan membentuk karakter dokter mudanya. Saya setuju harus dibentuk, dibentuknya tapi tidak harus dengan kekerasan dan ketakutan, tapi membentuk dengan ketangguhan, empati dan sayang pada pasien," ujar Menkes Budi saat konferensi pers di Kemenkes, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (20/7/2023).
Baca Juga: Dokter Bagikan Tips Aman Cukur Rambut Wajah Agar Tidak Luka dan Infeksi, Apa Saja?
Berdasarkan informasi yang diperoleh Menkes Budi membagi perilaku bullying dokter di rumah sakit pendidikan ini ke dalam tiga kelompok, sebagai berikut:
1. Dokter Junior sebagai Asisten Pribadi
Kelompok ini menurut Menkes Budi, alih-alih diminta mengerjakan tugas sesuai kompetensi pendidikan kedokteran yang harus diterimanya, dokter muda malah disuruh mengerjakan tugas bersifat pribadi.
Bahkan tugas sepele, seperti dalam satu acara perkumpulan dokter kurang sendok plastik jam 12 malam, tapi harus mencarinya dan akan disinggung di grup WhatsApp jika pekerjaan itu tidak mampu dilakukannya.
"Kelompok dimana peserta didik dianggap sebagai asisten, sebagai sekretaris, sebagai pembantu pribadi yang mengantar laundry, bayar laundry, mengantar anak. Kemudian ngurusin parkir, mengambil tisu ya seperti asisten pribadi lah," ungkap Menkes Budi.
Baca Juga: 5 Jenis Bullying Pada Dokter Residen Dibongkar Menkes: Disuruh Laundry sampai Antar Anak
2. Dokter Junior sebagai Pekerja Pribadi
Perilaku bully di mana dokter junior jadi pekerja pribadi, yaitu dengan cara memanfaatkannya untuk mengerjakan tugas dokter senior, seperti menulis jurnal atau penelitian. Tindakan ini sangat disayangkan, karena dokter junior bukannya mendalami bidang spesialisasi yang dikerjakan, malah mengerjakan tugas yang sama sekali tidak berhubungan.
"Paling sering nulis tugas, biasanya dari kakak seniornya nulis jurnal, nulis penelitian, karena ada juniornya, itu sebenarnya tugas buat kakak kelasnya, kakak kelas suruh junior kerja dia neliti. Kalau misalnya mau melanggar etik penelitian, juniornya juga yang disuruh," ungkap Menkes Budi lagi.
3. Dokter Junior Sebagai Sumber Uang Dokter Senior
Perilaku kelompok bullying ini membuat Menkes Budi terkejut, karena dokter junior harus mengumpulkan uang, demi sewa tempat kegiatan, makanan hingga gadget milik dokter seniornya.
"Yang saya agak terkejut. ini berkaitan dengan uang, cukup banyak juniornya suruh ngumpulin, ada yang jutaan, puluhan juta, kadang sampai ratusan juta. Bisa buat nyiapin rumah untuk kumpul-kumpul bareng senior, kontraknya setahun Rp 50 juta, bagi rata," ungkap Menkes Budi
"Atau praktik suka sampai malam, sama rumah sakit dikasih makan malam, tapi makan malamnya nggak enak, pengennya makan Jepang. Jadi setiap malam harus keluarin uang Rp 5 juta sampai Rp 10 juta, untuk seluruhnya harus makan makanan Jepang," lanjut Menkes Budi.
Kondisi iniilah yang akhirnya membuat Menkes Budi mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan atau InMenkes Nomor 1512 Tahun 2023, tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan Terhadap Peserta Didik pada Rumah Sakit Pendidikan pada 20 Juli 2023.
Bahkan sebagai kepanjangan tangan InMenkes itu, Menkes Budi juga membuat situs atau website laporan bullying dokter residen, yaitu di link https://perundungan.kemkes.go.id/ yang bisa diakses disiapapun, baik itu korban atau saksi aksi perundungan.
"Jadi tidak perlu khawatir identitas pelapor akan tersebar, karena laporan ini akan masuk langsung ke Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan, nggak akan masuk ke yang lain. Jadi nggak perlu khawatir laporan akan masuk ke RS-nya," ujar Menkes Budi.
Sementara itu berdasarkan pemantauan suara.com di situs tersebut, tidak hanya korban yang bisa melaporkan aksi bullying tapi juga saksi mata. Namun pelapor harus, melampirkan nama korban, NIK korban, nama pelaku, frekuensi kejadian, tempat kejadian, nama tempat kejadian (nama RS bersangkutan), deskripsi kejadian, bukti, hingga nomor dan email yang bisa dihubungi.
Namun khusus untuk nama dan NIK korban, Menkes Budi mengatakan bisa dirahasiakan atau dengan anonim. Tapi berdampak pada lebih lambatnya laporan diproses, karena harus menurunkan petugas dari inspektur jenderal dengan berkoordinasi langsung dengan rumah sakit untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
"Jadi kalau di lingkungan tertentu tidak berani ngomong karena takut, itu sudah tidak sehat," tutup Menkes Budi.