Suara.com - Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr.dr. Adib Khumaidi memastikan pihaknya akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Kesehatan yang resmi disahkan DPR-RI pada Selasa, 11 Juli 2023 kemarin.
Menurut Dr.Adib, UU Kesehatan ini memiliki cacat prosedur. Hal itu karena UU ini disahkan dalam waktu 5 bulan, dan diawal oleh draft rancangan undang-undang atau RUU siluman yang salinan aslinya tidak pernah diterima IDI dan organisasi profesi lainnya.
"Kami bersama 4 organisasi profesi lainnya. Akan menyiapkan upaya hukum, sebagai bagian tugas kami sebagai masyarakat yang taat hukum, untuk mengajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia," ujar Dr. Adib kepada suara.com, di kantor Pusat PB IDI, Jakarta Pusat, Rabu (12/7/2023).
Temuan cacat prosedur ini didapati IDI berdasarkan kajian terkait proses pembuatan undang-undang, sejak naskah draft RUU siluman di September 2022, lalu draft ini tiba-tiba 'berubah' di badan legislatif (Baleg).
Baca Juga: 6 Poin Penting RUU Kesehatan, Baru Disahkan DPR hingga Tuai Pro Kontra Para Nakes
"Artinya di dalam pemenuhan undang-undangan ini tidak ada transparansi. Kedua UU ini belum menunjukan partisipasi bermakna, kalau dikatakan ada komunikasi itu sifatnya hanya sosialisasi atau pemberitahuan," terangnya.
Padahal harusnya Undang-Undang itu ada masukan dari publik atau dari organisasi profesi kesehatan seperti IDI, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) yang nantinya bisa jadi usulan atau catatan yang dituangkan dalam pasal.
"Itu pun kita tidak tahu, 6 bulan proses pembuatan masukan di terakhir pun, masuk dari masyarakat sipil pun belum menjadi perhatian. Artinya unprosedural proses, jadi dari pembuatannya ini cacat formil," jelas Dr. Adib.
Lebih lanjut ia juga mengkritisi isi undang-undang, meski ada beberapa draft yang dirilis dan beredar ke publik, tapi belum memenuhi kepentingan kesehatan masyarakat saat ini. Termasuk mandatory spending atau pembelanjaan atau pengeluaran negara terkait kesehatan.
Kata Dr. Adib, dibanding UU Kesehatan yang baru diresmikan, justru UU Kesehatan 36 tahun 2009 lebih baik. Ini karena dalam UU Kesehatan 2023 yang baru, tidak ada alokasi, persentase, pemanfaatan dan sumber pendanaan kesehatan dari pemerintah alias hilang.
Baca Juga: Baru Disahkan, UU Kesehatan Bakal Digugat Ke MK
"Karena UU Kesehatan 36 tahun 2009 malah menyebutkan 2/3 dari anggaran itu untuk pelayanan publik, dan ini tidak ada. Hanya menyebutkan sumber, agak berbeda hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sumber lain yang sah menurut perundang-undangan," papar Dr. Adib.
Menurutnya, ini sangat disayangkan karena saat ini pemerintah sedang berkonsentrasi dengan transformasi sistem kesehatan, tapi pemerintah tidak menjelaskan secara rinci komitmen pembiayaan kesehatan berapa persen dan untuk apa dari anggaran APBN maupun APBD.
"Transformasi kesehatan itu kan butuh biaya, biayanya ini kesehatan tinggi, kita bertanya sumber biaya dari mana. Komitmen ini penting, jadi bukan sekedar program kerja saja, karena itu terlalu sederhana, karena kesehatan itu tanggung jawab dan hak,"
"Jadi harus dituangkan (dalam UU Kesehatan), apakah itu 5 persen, 10 persen ada kepastian hukum dalam bentuk nilai dan kuantitasnya," lanjut Dr. Adib.
Sementara itu Kementerian Kesehatan dan DPR-RI pada Selasa, 11 Juli 2023 baru saja mengesahkan UU Kesehatan, yang sebelumnya mendapat kecaman dan penolakan dari berbagai pihak termasuk organisasi profesi kesehatan.
Dengan disahkannya UU Kesehatan 2023 yang baru, maka artinya UU ini menggantikan UU Kesehatan 36 tahun 2009 yang sebelumnya berlaku.