Peranan Penting Komunikasi Risiko & Kerja Kolaboratif untuk Capaian 2 Tahun Vaksinasi Inklusif COVID-19 di Indonesia

Ririn Indriani Suara.Com
Selasa, 04 Juli 2023 | 09:55 WIB
Peranan Penting Komunikasi Risiko & Kerja Kolaboratif untuk Capaian 2 Tahun Vaksinasi Inklusif COVID-19 di Indonesia
Ilustrasi vaksin Covid-19. (Foto: Nataliya Vaitkevich/Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Vaksinasi inklusif COVID-19 oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) melalui program ‘Vaccine Access and Health Security Initiatives’ (VAHSI)program vaksinasi bagi kelompok rentantelah memberikan pelajaran bermakna bagi penanganan masalah kesehatan di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., MARS, Direktur Jenderal P2P Kementerian Kesehatan dalam acara “Apresiasi dan Pembelajaran Program Komunikasi Risiko dan Pemberdayaan Masyarakat dan Dukungan Vaksinasi COVID-19 AIHSP” yang digelar, beberapa waktu lalu. 

Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan apresiasinya kepada AIHSP yang menginisiasi program VAHSIsejak pertengahan 2021 hingga akhir 2023yang turut berkontribusi mendorong Indonesia menjadi salah satu negara dengan pencapaian vaksinasi terbanyak pada saat pandemi COVID-19.

Capaian ini merupakan bukti keberhasilan kolaborasi berbagai pihak untuk vaksinasi inklusif yang menyasar kelompok marjinal, seperti lansia, penyandang disabilitas, keluarga miskin, perempuan kepala keluarga, transgender, orang dengan HIV/AIDS, masyarakat adat, dan lainnya.

Baca Juga: Berapa Biaya Pengobatan Covid-19 Terbaru? Tak Semuanya Ditanggung Pemerintah!

“Kelompok dengan risiko tinggi masih sulit untuk dijangkau. Sehingga, kami sangat mengapresiasi bantuan para mitra untuk mendorong keberhasilan capaian vaksinasi inklusif. Program ini memberi pelajaran bermakna yang bisa diterapkan dalam penanganan masalah kesehatan lainnya seperti stunting, TBC, Malaria, dan HIV/AIDS,” ujar Maxi dalam sambutannya.

Ditemui dalam kesempatan yang sama, John Leigh, Direktur Program AIHSP pun menambahkan bahwa keberhasilan capaian vaksinasi inklusif tersebut juga didukung melalui kegiatan komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat yang dilaksanakan di lima provinsi kerja AIHSP, yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.

“Dalam merespons pandemi COVID-19, upaya yang paling sulit adalah melakukan vaksinasi secara merata karena ada beberapa kelompok yang sulit dijangkau. Melalui kolaborasi dengan berbagai pihak, AIHSP melakukan inisiatif ‘Last Mile’ yang dimulai dengan pilot project di dua provinsi yaitu Sulawesi Selatan melalui Universitas Hasanuddin, dan Jawa Tengah melalui Palang Merah Indonesia atau PMI. Kolaborasi ini kemudian diakselerasi dengan kemitraan bersama Save the Children (STC) untuk menjangkau kelompok rentan di lima provinsi kerja AIHSP,” jelas John.

Selama program berjalan, capaian vaksinasi di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah mengalami peningkatan sebanyak tiga kali lipat lebih cepat dibandingkan provinsi lainnya. Percepatan vaksinasi ini tentunya mendapat dukungan berbagai mitra pelaksana lokal di masing-masing provinsi, yaitu Jalin Foundation (Jawa Tengah), Migrant CARE (Jawa Tengah), Yayasan IDEP Selaras Alam (Bali), PKBI (Daerah Istimewa Yogyakarta), Sulawesi Community Foundation (Sulawesi Selatan), CIS Timor (Nusa Tenggara Timur).

Selain menggandeng kemitraan, AIHSP juga mengembangkan Pedoman Komunikasi Risiko untuk Krisis Kesehatan, dan Pedoman Komunikasi Perubahan Perilaku Pencegahan COVID-19.

Baca Juga: Indonesia Cabut Status Pandemi Covid-19, Ini Perbedaan Pandemi dan Endemi

“Program Last Mile menekankan pada penerapan komunikasi risiko, pelibatan masyarakat, dan inklusivitas. Pembelajaran dari program ini dapat diterapkan pada aspek lain di sektor kesehatan seperti stunting, bahkan tidak terbatas pada manusia melainkan juga pada hewan. Program ini mendukung penuh program One Health yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan,” sambungnya.

Hadir dalam kesempatan yang sama, dr. Yulianto Santoso Kurniawan, Koordinator Nasional AIHSPVAHSI memaparkan adanya tantangan selama pelaksanaan program vaksinasi inklusif.

“Saat itu, kami menemukan minimnya informasi vaksinasi COVID-19 yang diterima oleh kelompok rentan. Lalu juga waktu pelaksanaan vaksinasi yang tidak fleksibel, panjangnya antrian, tidak adanya juru bahasa isyarat atau JBI yang sebenarnya dibutuhkan oleh kelompok disabilitas, serta masih adanya diskriminasi pada kelompok tersebut. Selain itu, investasi pada generasi muda juga sangat penting untuk memupuk para agen perubahan ke depan. Untuk mengatasinya, AIHSP melalui program VAHSI segera menginisiasi kolaborasi dalam bentuk pentahelix yang melibatkan pemerintah, universitas, jurnalis, private sector, hingga organisasi masyarakat yang kami harap mampu menyebarkan metode komunikasi risiko yang lebih baik,” jelas Yulianto.

Pembelajaran vaksinasi inklusif COVID-19 di lima provinsi Pembelajaran vaksinasi inklusif dapat diambil dari praktik baik yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.

Program dengan alokasi anggaran lebih dari AUD6.200.000 ini telah menjangkau langsung lebih dari 450.000 orang berisiko tinggi di lima provinsi tersebut.

Aron Aan Damara, relawan dari Komunitas Pemuda Peduli Lansia, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, pun menyampaikan kontribusi komunitasnyayang terdiri dari anak-anak mudayang melakukan pendekatan khusus yang disesuaikan dengan karakteristik lansia yang sedang didekati. Upaya tersebut dinilai berhasil membuat lansia bersedia untuk divaksin.

“Lansia harus didekati secara halus dan tidak bisa dilakukan dalam satu kali percobaan. Di awal, biasanya menolak karena takut. Kuncinya adalah kesabaran. Layani dengan hati dan penuh kasih,” jelas Aron.

Selain komunitas anak muda di Jawa Tengah, tokoh adat perempuan juga memiliki peran penting dalam menyukseskan program vaksinasi inklusif COVID-19 ini, terutama dalam proses edukasi dan mengajak masyarakat adat di Sumba Barat Daya, NTT, agar mau divaksinasi.

Pendekatan ini dilakukan oleh seorang perempuan adat bernama Selvia Guber Derita atau kerap disapa Mama Dewi.

“Kami melakukan pendekatan dan kunjungan secara terus menerus agar masyarakat adat bersedia divaksinasi. Saya selalu katakan untuk menganggap saya sebagai mama, adik, atau saudara. Saya selalu memberikan keyakinan agar tidak perlu takut. Pemerintah mengadakan kegiatan vaksinasi bukan untuk buat kita mati, tetapi untuk membuat kita sehat,”tegas Mama Dewi.

Selanjutnya, kelompok disabilitas juga menjadi kelompok prioritas yang harus dilibatkan dan diberikan kesempatan berpartisipasi dalam program vaksinasi inklusif COVID-19. Dengan keterlibatan kelompok disabilitas, diharapkan stigma negatif dan diskriminasi terhadap kelompok disabilitas akan hilang dalam masyarakat.

Seperti yang disampaikan oleh Untung Subagyo, Perwakilan DPO, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menyampaikan harapannya bagi kelompok disabilitas agar diberikan akses pelayanan kesehatan secara gratis oleh pemerintah.

Tak hanya itu, perwakilan kelompok waria dari Komunitas Mendut di Jawa Tengah, Vil Ardi menyampaikan bahwa dalam menyasar kelompok transgender juga perlu adanya pendekatan secara konsisten.

“Kelompok transgender tidak memerlukan perlakuan khusus. Kami harapkan kelompok ini dapat membaur dengan masyarakat. Melalui fasilitasi Mobil VCT, kami menyediakan tes screening HIV dan juga vaksinasi COVID-19 untuk menjangkau kelompok termarjinalkan seperti Masyarakat Adat Samin dan kelompok transgender di Pati,” ungkap Vil Ardi.

Kesuksesan komunikasi risiko lainnya juga dicapai di Sulawesi Selatan yang dialami sendiri oleh Hijrahwati, koordinator imunisasi dari Puskesmas Bontolompo 2.

“Dalam upaya vaksinasi inklusif COVID-19, petugas melakukan door-to-door bersama dengan mitra relawan dan kader untuk melakukan pendataan dan persuasi kepada lansia agar mau divaksin. Saat ini, sudah ada sekitar 700 lansia yang terdata untuk segera divaksinasi dan masih menunggu stok vaksin,” jelas Hijrahwati.

Keberhasilan vaksinasi inklusif COVID-19 juga terbukti di Bali, hal tersebut disampaikan oleh I Made Thedy Ardibrata SKM, perwakilan dari Puskesmas Kubu II yang mengatakan bahwa kesuksesan tersebut didukung oleh kolaborasi dengan pihak swasta dan puskesmas dalam menyediakan tempat cuci tangan.

Seluruh upaya ini dilakukan untuk menjangkau kelompok rentan, termasuk di dalamnya lansia dan penyandang disabilitas yang juga membutuhkan akses vaksinasi COVID-19.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI