Suara.com - RUU Kesehatan hingga saat ini masih menjadi perbincangan berbagai pihak.Sejumlah pihak menilai masih ada masalah di RUU Kesehatan sehingga perlu ditinjau lebih lanjut.
Salah satu organisasi yang menyoroti serta meminta penundaan RUU Kesehatan yaitu Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI). Founder dan CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih mengatakan, masih banyak masukan dari masyarakat sipil yang terefleksikan dengan baik dalam RUU Kesehatan, salah satunya masalah larangan iklan rokok.
Diah mengatakan, pasal larangan iklan, promosi, hingga sponsor rokok ataupun produk tembakau hingga saat ini belum terealisasi. Padahal, rokok sendiri selalu digambarkan bahaya bagi kesehatan. Namun, dengan adanya iklan rokok itu akan membuat kondisi yang sebaliknya.
“CISDI mendukung penambahan pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsor untuk produk tembakau sebagai bagian dari upaya denormalisasi industri tembakau yang selama ini membangun citra positif kepada masyarakat,” kata Diah dalam Diskusi Publik: Kepentingan Publik yang Belum Ada di RUU Kesehatan, Kamis (8/6/2023).
Baca Juga: Bukan Hanya saat Sakit, 4 Manfaat Rutin ke Dokter Gigi yang Perlu Kamu Tahu
Tidak hanya masalah rokok, Diah menjelaskan, pihaknya juga telah mencatat beberapa kepentingan publik yang dinilai masih timpang, di antaranya sebagai berikut.
1. Masalah penghapusan anggaran kesehatan
Hal yang dinilai masih timpang dalam RUU Kesehatan yaitu masalah penghapusan anggaran kesehatan sebanyak 10 persen dari APBN dan APBD. Padahal masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021, dengan distribusi alokasi yang timpang.
2. Masalah kader kesehatan
Diah mengatakan, dalam RUU kesehatan belum menguatkan kader kesehatan melalui pemberian upah secara wajib. Selain itu, belum ada penjelasan jelas terkait melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK).
Baca Juga: 7 Manfaat Bawa Bekal Makan yang Jarang Diketahui, Tingkatkan Produktivitas!
“Pelembagaan kader penting untuk meregistrasikan kader, memetakan jumlah dan lokasi kader sebagai sumber daya kesehatan garda terdepan, membuat struktur pelatihan yang berkesinambungan, dan memastikan kualitas layanan dengan standar kompetensi,” kata Diah.
3. Masalah kelompok rentan
Hingga saat ini, belum ada keterangan jelas mengenai definisi kelompok rentan. Tidak hanya itu, masalah fasilitas layanan kesehatan juga perlu dipertimbangkan. Hal ini demi mengurangi wilayah yang masih terbatas akses layanan kesehatan.
“Pemerintah perlu memasukkan variabel kerentanan akibat minimnya kualitas hunian termasuk akses sanitasi dan kepadatan penduduk seperti warga binaan pemasyarakatan yang akses terhadap layanan kesehatannya terbatas,” kata Diah.