Suara.com - Tuberkulosis atau TB merupakan penyakit menular yang harus diwaspadai karena bisa berisiko pada kematian. Berdasarkan catatan dari Kementerian Kesehatan, terdapat lonjakan kasus dua kali lipat pada TB anak di tahun 2022 menjadi 88.927 ribu kasus.
Angka tersebut tentunya menjadi peringatan agar penyakit TB khususnya pada anak segera mendapatkan perhatian agar tak semakin melonjak.
Pasalnya, menurut ketua UKK Respirologi IDAI dr Rina Triasih , tidak hanya di Indonesia tetapi juga secara global menganggap bahwa tuberkulosis pada anak tidak menular sehingga jarang disorot terkait pencegahannya. Belum lagi dengan stigma masyarakat yang masih tinggi terhadap tuberkolosis.
“TBC paru yang ringan pada anak itu sebenarnya risiko penularannya minimal,” ungkapnya pada media briefing Pekan Tuberkulosis, Senin (20/3/2023).
Pencegahan TBC pada Anak
Pencegahan TBC pada anak yang pertama bisa dilakukan dengan cara menekan stigma terkait. Seringkali pasien TB mendapatkan diskriminasi seperti dikucilkan dari lingkungan.
Banyak pasien TB yang malu dengan penyakitnya dan berujung malas untuk berobat namun tetap melakukan berbagai aktivitas yang tanpa disengaja bisa menularkan pada orang di sekitarnya.
TB pada anak sejatinya karena tertular bukan menularkan, seperti yang disampaikan dokter Rina bahwa anak adalah korban dari pasien TB aktif.
“Jangan menstigmatisasi orang yang sakit TBC, anak yang sakit TBC, jangan dikucilkan. Karena mereka sudah sakit harus berobat banyak. Caranya dengan memberikan pemahaman yang betul terkait TBC. TBC memang menular tetapi dia bisa disembuhkan,” tegas dokter Rina.
Pencegahan TB pada anak lainnya yakni dengan memberikan vaksin BCG saat berusia 0-3 bulan. Serta pemberian obat pencegahan TBC bagi anak yang kontak erat dengan pasien TBC.
Penggunaan masker pun turut serta membantu pencegahan TB pada anak. Baik pasien TB mau pun bukan, sebaiknya selalu mengenakan masker.
Gejala TB pada Anak
Dokter Rina menuturkan terkait beberapa gejala TB paru yang bisa dijumpai pada anak. Seperti batuk dan demam dengan jangka waktu yang lama, anak menjadi lesu atau tidak seaktif biasanya serta adanya penurunan berat badan.
“Sifat khas dari TBC itu adalah gejala TBC itu sifatnya itu resistensi. Jadi gejalanya itu menetap walaupun dia sudah diberikan pengobatan yang dokternya mengira ini penyakit yang lain.”
Meski begitu, batuk yang lama pun tidak melulu pertanda TBC, tetapi bisa menjadi pertanda penyakit lainnya seperti asma dan bronkitis.
“Tidak selalu batuk lebih dari dua minggu itu adalah TBC. Tetapi kalau ada batuk yang lebih dari dua minggu sudah diberikan pengobatan tidak sembuh-sembuh juga, perlu kita pikirkan salah satu kemungkinannya adalah TBC,” jelas dokter Rina.
Sementara pada TB Ekstraparu tergantung dengan organ yang diserang. Jika pada otak, anak umumnya akan mengalami kejang, penurunan kesadaran dan demam lama. Apabila TB menyerang tulang belakang maka akan menunjukkan postur tubuh yang bengkok.
Dokter Rina pun menyampaikan kendala jika TB menyerang organ usus karena baru bisa ketahuan setelah jangka waktu yang lama sehingga penanganannya pun terlambat.
“TBC usus itu diagnosisnya sulit, kadang-kadang anak hanya mengeluh nyeri perut. Tapi biasanya baru akan ketahuan di waktu yang sudah agak terlambat. Jadi anak perutnya membesar, mungkin ada gangguan buang air besar menjadi tidak lancar atau justru diare,” jelas dr Rina.
Cara Pengobatan
Sejatinya penyakit menular ini bisa disembuhkan karena obatnya pun sudah tersedia. Asalkan pengobatan harus dijalani dengan teratur dan tuntas.
Bagi penderita TB paru minimal lama pengobatannya adalah 6 bulan. Sementara pasien TB ekstraparu ini pengobatannya lebih lama minimal 12 bulan.
Penting bagi pasien TB untuk teratur minum obat dan tuntas. Sebab jika berhenti di tengah jalan, bukan hanya bisa mengancam berbagai risiko komplikasi melainkan juga tubuh bisa menjadi resitensi atau kebal terhadap obat.
Shilvia Restu Dwicahyani