Suara.com - Rencana pelabelan BPA pada galon guna ulang masih terus dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Salah satuna dari Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, C.Ht.
Dia mengatakan peraturan yang ada di Indonesia mengizinkan keberadaan BPA dan zat kimia lain di dalam aneka kemasan pangan termasuk yang berpotensi bermigrasi ke pangan. Menurutnya, batasan migrasi berbagai jenis senyawa kimia dalam semua jenis kemasan pangan juga telah diatur secara komprehensif dalam PERBPOM No.20/2019. Contohnya BPA pada PC serta asetaldehid, etilen glikol, dietilen glikol pada PET.
Menurutnya, batas maksimum migrasi BPA di Indonesia adalah 0,6 bpj dan ini masih sangat sesuai dengan mayoritas batas maksimum migrasi BPA negara-negara maju di dunia lainnya. Contohnya Jepang (2,5 bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), RRC (0,6 bpj), bahkan USA tidak ada batas spesifik migrasinya.
“Jadi, sampai saat ini sepengetahuan saya, tidak ada satupun negara di dunia yang mengeluarkan peraturan kewajiban pelabelan khusus terkait BPA pada kemasan air minum dalam kemasan,” ujar dia dalam keterangannya baru-baru ini.
Baca Juga: CEK FAKTA: Galon Isi Ulang Menyebabkan Kemandulan, Benarkah?
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa mengacu kepada hasil kajian lembaga-lembaga pengawas keamanan pangan di berbagai negara, pelabelan kemasan air minum ‘Berpotensi Mengandung BPA” belum perlu dilakukan. Yang perlu dilakukan adalah analisi resiko paparan BPA dari berbagai sumber paparan
“Di EFSA saja (itu dilakukan) sangat hati-hati dan waktu yang panjang. Mereka melakukannya sejak tahun 2007, dan sampai sekarang saja mereka belum memutuskan dan masih terus mereview,” ujar Ahmad Sulaeman.
Dia juga menyampaikan bahwa pencantuman logo recycle dengan nomor serta nama bahan kemasan di bawah kemasan botol minuman untuk saat ini sudah cukup, dan tidak perlu ditambah embel-embel bebas BPA.