Suara.com - Indonesia dinilai masih kalah mandiri dalam hal penelitian obat dibandingkan beberapa tetangga di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Apa lagi bila dibandingkan secara tingkat dunia, peringkat Indonesia bahkan kalah dari Afrika Selatan.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA), hanya ada sekitar 9 persen obat-obatan inovatif yang beredar di Indonesia. Hal itu menempatkan Indonesia pada peringkat terendah, di bawah Afrika Selatan jika dibandingkan dengan negara G20.
Menurut Asosiasi Untuk Studi Obat Indonesia atau The Indonesian Association for The Study of Medicinals (IASMED), penyebab kurangnya obat-obatan inovatif tersebut karena tidak adanya uji klinis skala global di Indonesia akibat rumitnya regulasi dari Kementerian Kesehatan RI dalam menerbitkan izin.
"Perlunya penguatan terutama terkait regulasi Menteri Kesehatan No. 85 tahun 2020. Peraturan ini mengandung beberapa aspek yang menurut kami dapat disempurnakan agar proses tata kelola perizinan uji klinis lebih baik dan akuntabilitasnya terjaga. Beberapa pasal cukup berpotensi kontraproduktif, salah satunya adalah Pasal 31 ayat 2 dan Pasal 35 yang memperpanjang proses birokrasi dan administratif," kata perwakilan IASMED dr. Grace Wangge Ph.D., dalam diskusi panel di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Baca Juga: BPOM Sebut Hasil Uji Laboratorium Obat Praxion Aman, Tapi Kok Tetap Ditarik dari Peredaran?
Grace menambahkan bahwa penguatan regulasi itu diharapkan bisa mempermidah proses izin riset obat, vaksin, dan alat diagnostik yang mumpuni dan dalam jangka panjang untuk mendukung kemandirian farmasi di Indonesia.
"Semakin banyak penelitian tentang obat akan memberikan akses bagi para peneliti terhadap studi global yang mendorong pertukaran pemikiran dan peningkatan kapasitas sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Ketahanan Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Roy Himawan mengatakan bahwa pemerintah sendiri sebenarnya makin banyak mengeluarkan izin penelitian dalam setahun terakhir.
"Tahun lalu, dari 19 sampai 20 yang diajukan, kami hanya menolak satu," ungkap Roy.
Ia mengungkapkan, penolakan itu terkait dengan Material Transfer Agreement (MTA) atau Perjanjian Alih Material.
Baca Juga: Cocok untuk Penderita Insomnia dan Anxiety Disorder, Berikut Manfaat Teh Chamomile..
Agar MTA disetujui, peneliti harus mengikuti aturan dalam Leraturan Menteri Kesehatan Nomor 85 Tahun 2020 tentang pengaturan spesimen klinik, yang diminta oleh IASMED untuk direvisi. Berikut isi dari peraturan tersebut:
- Memberikan perlindungan kepada masyarakat, peneliti, pelaksana dan fasilitas pelayanan kesehatan serta lembaga penelitian dan pengembangan dari bahaya penyebaran dan gangguan kesehatan penyebab penyakit infeksi new emerging dan re-emerging, termasuk penyalahgunaannya sebagai senjata dan atau bahan senjata biologi;
- Memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi potensi ditemukan dan digunakannya ilmu pengetahuan dan teknologi penanggulangan penyakit infeksi new emerging dan re-emerging dalam menunjang ketahanan Nasional;
- Memberikan dasar ilmiah bagi pelaksanaan program kesehatan dalam keadaan yang berdampak pada kepedulian kesehatan dan kedaruratan kesehatan masyarakat (Public Health Emergency of International Concern /PHEIC) di tingkat nasional maupun internasional sesuai International Health Regulation 2004 dan ketentuan yang berlaku.