Suara.com - Setiap tahun, jumlah Orang dengan HIV terus meningkat. Dari data epidemiologi UNAIDS, hingga tahun 2021 jumlah orang dengan HIV mencapai 38,4 juta jiwa di seluruh dunia.
Sementara itu, situasi epidemi pada kelompok perempuan dan anak menunjukkan angka yang terus memprihatinkan. Hal ini dibahas dalam World AIDS Day 2022 Press Briefing Let’s Equalize, No Woman and Child Left Behind di Gedung Tempo pada 25 November 2022 lalu.
UNAIDS Indonesia Country Director - Krittayawan Boonto mengatakan, terdapat sekitar 543,100 orang di Indonesia yang hidup dengan HIV, dengan estimasi 27 ribu kasus infeksi baru di tahun 2021 lalu.
Padahal, 40 persen kasus infeksi baru terjadi pada perempuan, sementara lebih dari 51 persennya terjadi pada kelompok remaja usia 15 hingga 24 tahun. Tak hanya itu, 12 persen infeksi baru juga terjadi pada kelompok anak.
Baca Juga: Bukan Kena HIV, Sunan Kalijaga Ternyata Idap Penyakit Ini
"Sayangnya, hanya 28 persen yang menerima pengobatan ARV. Indonesia menduduki posisi tiga terbawah di Asia Pasifik untuk cakupan pengobatan ARV bersama dengan Pakistan dan Afghanistan," kata Krittayawan Boonto, dikutip dari siaran tertulis Senin, (28/11/2022).
ARV atau Antiretroviral merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS untuk mengurangi risiko penularan HIV serta menghambat perburukan infeksi akibat infeksi virus menular tersebut. Untuk itu, ARV sangat penting untuk menghentikan penularan HIV dari ibu ke anak.
Perempuan dan Anak adalah Populasi Kunci
Menurut data UNAIDS, hampir setengah dari kasus infeksi HIV baru pada anak, berasal dari Ibu yang tidak menerima terapi ARV. Data juga menunjukkan bahwa ada banyak ibu menghentikan terapi, selama masa hamil dan menyusui.
Padahal menurut Boonto, perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci yang seharusnya menjadi prioritas untuk mengakhiri epidemi AIDS. Sayangnya, mereka masih menghadapi berbagai tantangan untuk melakukan pengobatan.
Baca Juga: Denise Chariesta Beberkan Mbak Bulan Sering Terima Pekerjaan Rp100 Juta di Luar Negeri
Pada ibu hamil dan menyusui alasan untuk menghentikan terapi karena adanya keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, biaya, stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar dan efek samping obat.
"Bagi anak dan remaja juga bukan hal yang mudah untuk mengakses layanan kesehatan. Adanya keterbatasan obat khusus anak dan hambatan hukum seperti kebijakan persyaratan usia juga menjadi alasan sulitnya mendapatkan pengobatan," tambah Boonto.
Belum lagi, lanjutnya, pengetahuan mengenai isu HIV serta kesehatan seksual dan reproduksi, stigma masyarakat dan kurangnya dukungan keluarga semakin menyulitkan mereka untuk bisa mengakses antiretroviral therapy.
"Untuk merealisasikan epidemi AIDS pada 2030, Semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan, semua orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV, semua orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viraload tersupresi."
"Penguatan multi-sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup untuk program HIV. Negara juga harus prioritaskan pembiayaan program HIV. Dengan begitu, saya yakin bahwa kita semua dapat akhiri AIDS pada 2030," pungkas Krittayawan Boonto.