Suara.com - Kontaminasi Bisfenol A (BPA) secara signifikan lebih tinggi pada kemasan kaleng daripada makanan non kaleng, seperti makanan segar, makanan beku, dan kemasan plastik. Hal ini diungkapkan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, C.EIA, ketika disinggung mengenai perlu tidaknya air minum dalam kemasan diberikan label “berpotensi mengandung BPA”.
"Kalaupun berencana mau melabeli kemasan pangan, harusnya semua kemasan itu harus dilabeli dengan menyatakan ini bebas bahan berbahaya. Jangan ada diskriminatif kalau mau mengamankan kemasan pangan. Kalau mau dilabeli, ya semua harus dilabeli,” ujarnya, dalam workshop “Penggunaan Bahan Bisphenol A (BPA) Pada Makanan dan Minuman”, yang diselenggarakan Direktorat Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan di Hotel Mercure Jakarta, Selasa (8/11/2022).
Sebelumnya, pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin juga mengatakan, kemasan kaleng yang sudah rusak alias penyok tidak boleh dikonsumsi masyarakat. Hal itu disebabkan karena pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam pada kaleng kemasannya, sehingga mengakibatkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya.
“Jika itu terjadi, kemungkinan makanan atau minuman yang ada dalam kemasan bisa beracun,” ujarnya.
Dia mengatakan, bahaya migrasi BPA yang disebabkan kemasan kaleng penyok dan tergores ini lebih besar dibanding jika itu terjadi pada galon air yang berbahan Policarbonat (PC).
Baca Juga: Bukan Cuma Galon, Pakar IPB Sebut Risiko BPA juga Terdapat Pada Makanan Kaleng
“Kalau galon sudah diuji penyok atau tidak penyok, migrasi BPA-nya rendah. Apalagi bagian luar dan dalam galon terbuat dari bahan PC. Kalaupun pecah, tetap keluarnya Policarbonat juga. Tapi kalau kaleng kemasan, bagian dalamnya adalah epoksi. Jadi ketika dia penyok, epoksinya akan sobek dan menyebabkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya,” tuturnya.
Ahmad Zainal menegaskan, barang-barang seperti plastik bersifat inert atau tidak bereaksi, baik dalam asam maupun basah.
“Plastik itu nggak terlalu masalah dengan situasi asam ataupun basah. Yang bermasalah adalah kemasan kaleng, karena ada lapisan epoksinya, yang jika terkelupas bisa membuat produknya beracun,” tukasnya.
Sementara itu, Pakar Teknologi Pangan IPB, Aziz Boing Sitanggang, beberapa waktu lalu mengatakan kecenderungan BPA untuk bermigrasi dari kaleng ke produk bisa berpotensi lebih besar dan bisa lebih kecil.
“Tapi seberapa besar pelepasan BPA-nya, kita tidak tahu, karena di Indonesia belum ada studi untuk meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih jauh,” tuturnya.
Beberapa penelitian menyebutkan adanya keterkaitan antara BPA dan peningkatan tekanan darah, diabetes tipe II, dan penyakit jantung.