WHO Sebut Resistensi Antibiotik Sebabkan Masalah Kesehatan Mental, Kok Bisa?

Kamis, 13 Oktober 2022 | 13:32 WIB
WHO Sebut Resistensi Antibiotik Sebabkan Masalah Kesehatan Mental, Kok Bisa?
Ilustrasi kesehatan mental, dampak resistensi antibiotik. (Pexels.com/Andrea Piacquadio)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menegaskan masalah resistensi antibiotik atau resisten antimikroba (AMR) tidak hanya masalah kesehatan fisik, tapi juga masalah kesehatan mental.

Technical Officer (AMR) WHO Indonesia, Mukta Sharma, mengatakan penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba maupun antibiotik berlebihan pada manusia, hewan dan tumbuhan mempercepat perkembangan dan penyebaran AMR di seluruh dunia.

Sebuah studi global memperkirakan bahwa lebih dari 4,9 juta orang meninggal di 204 negara pada tahun 2019 secara langsung atau tidak langsung karena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik.

Ilustrasi obat antibiotik, resistensi antibiotik. (Sumber: Shutterstock)
Ilustrasi obat antibiotik, resistensi antibiotik. (Sumber: Shutterstock)

“Orang yang terkena AMR harus menghadapi penyakit berkepanjangan, durasi pengobatan lebih lama, tantangan kesehatan mental, stigma sosial, dan beban keuangan yang tinggi. Ini bisa kita hindari kalau kita beraksi bersama sekarang. Kita harus melakukan ini kalau ingin melindungi generasi berikutnya,” ujar Mukta dalam acara konferensi pers WHO dan FAO di Westin Jakarta, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (12/10/2022).

Baca Juga: Tips Bagaimana Teknologi Melindungi Kesehatan Mental di Era Media Sosial

Antimikroba adalah obat-obatan untuk membunuh atau menghentikan perkembangbiakan mikroorganisme atau kuman yang menjadi penyebab penyakit infeksi.

Sedangkan resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) adalah kondisi ketika mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, atau parasit) menjadi kebal atau resisten terhadap pengobatan antimikroba.

Masalah gangguan kesehatan mental ini dibenarkan dan dialami langsung Penyintas Tuberkulosis Resisten Onat atau TB-RO, Paransarimita Winarni (40) yang hingga kini masih dilanda kecemasan meski sudah dinyatakan 8 tahun sembuh dari TB-RO.

Kecemasan ini terjadi bila anggota keluarga atau orang di sekitar yang ia temui bergejala batuk tak kunjung berhenti, ia takut tertular dan harus merasakan 'penderitaan' panjang maupun perjuangan mengonsumsi obat TB-RO dalam jumlah banyak.

Tak main-main jumlah obatnya mencapai 15 tablet, yang harus ia konsumsi setiap hari di waktu yang sama sekaligus, selama 7 bulan.

Baca Juga: Kesehatan Mental Terganggu, Psikolog Sarankan Segera Berkonsultasi ke Dokter

"Jadi aku takut banget kalau ada yang batik di dekat aku, bisa parno dan cemas parah. Ini sih udah mendingan dulu, bahkan ia sering terbangun di malam hari karena betapa selalu tenggang, ia harus berjuang untuk bisa sembuh dengan segala efek samping obat yang menurutnya sangat menyiksa," ungkap Paran kepada suara.com di tempat yang sama.

Adapun berikut ini yang bisa diterapkan untuk mengurangi kebutuhan konsumsi antimikroba dan antibiotik, untuk mengurangi risiko resisten antibiotik dan AMR:

  1. Memastikan penggunaan antibiotik secara rasional yang mengakui mereka sebagai sumber daya berharga.
  2. Memperkuat pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan, peternakan dan tempat industri makanan.
  3. Memastikan akses ke air bersih, sanitasi dan kebersihan.
  4. Memastikan akses ke vaksinasi untuk penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin.
  5. Menerapkan praktik terbaik dalam produksi pangan, perikanan, dan pertanian.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI