Suara.com - Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) mengatakan tragedi Stadion Kanjuruhan yang merenggut ratusan nyawa, menunjukan lemahnya budaya K3 di Indonesia.
Ahli Keselamatan Kerja Departemen K3 FKM UI, Dr. Zulkifli Djunaedi mengatakan fasilitas dan alat K3 sangat vital keberadaannya di area publik seperti di Stadion Kanjuruhan
“Tidak memadainya fasilitas dan sarana emergency menjadi faktor kritis pada kejadian multiple fatalities tersebut. Apakah prosedur emergency response disiapkan oleh panitia?" papar Dr. Zulkifli melalui keterangan yang diterima suara.com, Selasa (4/10/2022).
"Kenapa gas air mata digunakan dalam meredam amukan massa, padahal sudah jelas dalam regulasi FIFA nomor 19 bahwa gas air mata dan senjata tajam tidak boleh digunakan dalam pengamanan massa di stadion," ungkapnya lagi.
Baca Juga: Kios di Stadion Kanjuruhan Beroperasi Kembali
Perlu diketahui, K3 adalah serangkaian upaya yang dilakukan guna memastikan kelancaran dari suatu kegiatan dalam kondisi yang aman, sehat dan selamat.
Kepala Disaster Risk Reduction Center (DRRC) UI, Prof. Fatma Lestari menambahkan dalam acara perhelatan besar seperti pertandingan sepak bola, panitia dan petugas stadion harus bisa menemukan potensi bahaya, dengan kajian risiko keselamatan, manajemen risiko hingga prosedur keadaan darurat.
Termasuk panitia juga harus mengidentifikasi risiko dan kerugian yang akan terjadi saat pertandingan sepak bola berlangsung.
"Langkah selanjutnya adalah melakukan penyusunan manajemen risiko agar kecelakaan terhindari, terminimalisir hingga tidak terjadi. Termasuk di dalamnya ada tindakan seperti apa saja yang harus dilakukan saat terjadi keadaan darurat seperti di Stadion Kanjuruhan beberapa hari lalu," papar Prof. Fatma.
Perempuan yang juga Ahli Keselamatan Kerja Departemen K3 FKM UI ini menambahkan, saat pertandingan sepak bola ada potensi kekurangan oksigen atau sesak napas, keracunan dari jajanan yang tidak hygiene, dan terjatuh karena permukaan tinggi.
Termasuk juga struktur bangunan yang kurang kokoh dan runtuh, kekacauan dan anarkis karena kekecewaan atas kondisi pertunjukan atau perlombaan, potensi kebakaran, gempa bumi dan banjir.
"Masih banyak lagi potensi bahaya yang harus dikendalikan oleh event organizer," sambung Prof. Fatma.
Terakhir ia meminta, tragedi Stadion Kanjuruhan harus diinvestigasi dan diselidiki lebih mendalam, termasuk juga melibatkan para ahli K3, ahli kedaruratan, perancang stadion dan pihak lainnya.
"Hasil investigasi dan pembelajaran terpetik dari tragedi tersebut, harus disosialisasikan agar kecelakaan serupa dapat dicegah dan menjadi pembelajaran bersama," tutup Prof. Fatma.
Perlu diketahui pada Sabtu, 1 Oktober 2022 kerusuhan pasca pertandingan Persebaya vs Arema FC yang memakan korban jiwa sebanyak 125 korban, dan korban luka sebanyak 323 orang.
Tragedi kemanusiaan ini otomatis masuk sebagai sejarah kerusuhan di stadion bola terbesar ketiga setelah Peru dengan 320 kematian dan Ghana dengan 126 kematian.