Suara.com - Raut wajah petugas di depan Fatma berubah saat perempuan 28 tahun itu menulis kata ‘kondom’ di kolom pilihan kontrasepsi pada formulir Posyandu yang ia isi. Bola mata kader Posyandu yang ada di depannya langsung menatap dari ujung kepala hingga kaki Fatma.
Tapi Fatma memilih berlalu. Terlebih, antrean di belakangnya juga sudah cukup mengular. Sambil berlalu, sayup terdengar suara petugas Posyandu yang menekankan bahwa kontrasepsi itu semestinya menggunakan IUD, suntik atau pil. Nadanya setengah menyindir pilihan kontrasepsi Fatma.
“Ini kan Posyandu, semestinya kader-kadernya lebih paham dong kalau (kondom) ini juga salah satu pilihan alat kontrasepsi. Tapi saya malas berdebat…daripada dianggap menggurui,” ujar Fatma kepada Suara.com lewat pesan singkatnya.
Dalam pertemanan dan keluarga, Fatma juga mengatakan bahwa masih banyak yang menganggap bahwa pilihan kontrasepsi hanya suntik, pil dan IUD. Sementara kondom tidak pernah masuk dalam pilihan.
Baca Juga: Awas! Sex Toys Menularkan Penyakit HIV, Perhatikan ini Agar Tetap Aman
Penulis buku penulis buku "Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin", Ester Pandiangan, punya cerita lain. Ia kerap dibuat heran mengapa banyak laki-laki ogah menggunakan kondom, baik sebagai alat kontrasepsi, maupun untuk mencegah infeksi menular seksual dan juga HIV/Aids.
“Kalau misal dibilang malu, sekarang ini kan sudah zaman digital, bahkan kita bisa beli di aplikasi, harusnya stigmanya bisa diminimalisir karena kita tidak bertemu langsung dengan penjualnya,” kata Ester.
Tapi, dari sejumlah perbincangannya dengan beberapa teman, masih kerap ada laki-laki yang ogah pakai kondom. Bahkan, ada semacam stigma yang terbentuk bahwa mereka yang menggunakan kondom itu ‘lemah’.
“Ada saja orang yang mengatakan kalau pakai kondom itu cemen. Demi merasakan sensasi skin to skin, mereka rela mempertaruhkan risiko dengan enggak pakai kondom,” ujar Ester.
Mandeknya tingkat penggunaan kondom di Indonesia
Partisipasi laki-laki dalam memilih kondom sebagai alat kontrasepsi memang telah lama mandek. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) menjadi Kepala BKKBN, mengatakan bahwa tingkat partisipasi penggunaan kondom laki-laki tidak pernah lebih dari 5 persen dari waktu ke waktu.
“Saya kira relatif stabil 2,5 persen hingga 3,6 persen,” kata Hasto.
Data termutakhir menunjukkan hanya 3,12 persen laki-laki di Indonesia yang masih menggunakan kondom. Hasto mengungkapkan bahwa ada sejumlah sebab tingkat partisipasi laki-laki dalam menggunakan kondom mandek dari tahun ke tahun.
Pertama, Hasto menyadari bahwa pilihan alat kontrasepsi bagi laki-laki tidak sebanyak perempuan. Hingga saat ini hanya terdapat dua yang terbukti efektif, kondom dan vasektomi. Sebagai informasi vasektomi adalah prosedur kontrasepsi pada laki-laki yang dilakukan dengan cara memutus penyaluran sperma ke air mani.
Opsi itu berbeda dengan perempuan yang setidaknya terdapat berbagai pilihan mulai dari pil KB, implan atau susuk, suntik KB, hingga IUD. Terlepas dari perkara pilihan, stigma sosial terkait kondom menurut Hasto jadi pangkal yang bikin laki-laki ogah pakai kondom dan membuat tingkat partisipasinya relatif stagnan.
“Betul bahwa ada semacam anggapan urusan reproduksi tanggung jawab perempuan,” kata Hasto.
Menelusuri stigma terhadap kondom
Seksolog Zoya Amirin Zoya Amirin,M.Psi.,FIAS menyebut bahwa stigma terkait kondom seperti yang Hasto sampaikan, sebagian besar juga dipengaruhi oleh budaya patriarki yang masih cukup kental di masyarakat. Patriarki yang dimaksud Zoya ialah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam dalam berbagai peran sosial.
Zoya menjelaskan bahwa budaya patriarki yang mengakar membuat laki-laki seolah merasa berhak untuk menentukan bahwa mereka bebas menggunakan kondom atau tidak. Termasuk memutuskan untuk melakukan Coitus Interruptus atau senggama terputus sebagai cara mengendalikan kehamilan.
“Ini kan mengerikan pemikiran yang menganggap bahwa laki-laki sejati mampu melakukan coitus interuptus, bukan bagaimana sebagai laki-laki sejati mampu melakukan seks yang bertanggung jawab,” kata Zoya.
Argumen Zoya juga didukung sebuah studi berjudul ‘Perceptions towards HIV and AIDS, Condom Use and Voluntary Counseling and Testing (VCT) Amongst Students at A Previously Disadvantaged South African Tertiary Institution. Studi yang diterbitkan dalam jurnal Journal of Human Ecology menyebutkan bahwa banyak hambatan terkait penggunaan kondom erat kaitannya dengan budaya patriarki, yang membuat laki-laki mendominasi, termasuk mendikte penggunaan kondom.
Dalam konteks Indonesia, studi terbaru tahun 2022 berjudul Ketidakadilan Gender Dalam Implementasi Kebijakan Kependudukan Pada Penggunaan Alat Kontrasepsi Studi Di Kampung Kb, Kota Batu, juga menemukan bahwa dalam budaya Jawa yang masih menganut konsep patriarki membuat perempuan tidak memiliki posisi yang cukup kuat dalam mengambil keputusan pada ranah domestik. Termasuk saat memilih kontrasepsi.
Situasi tersebut semakin dipersulit dengan minimnya edukasi dan informasi yang minim pada pengambil kebijakan, sehingga tidak jarang kondisi itu mengokohkan stigma di masyarakat. Salah satunya ketika sejumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di berbagai daerah yang merazia kondom setiap menjelang Hari Valentine, setiap 14 Februari.
“Jadi saya agak terkejut dengan pemikiran Satpol PP itu cukup ajaib, kok bisa menciduk mengambil kondomnya, padahal alat kontrasepsi untuk pencegahan,” ujar Zoya.
“Apakah kalau enggak ada kondom kemudian orang enggak mau melakukan hubungan seks? Kan enggak, saya gak mengerti logikanya, dan dasar hukumnya apa.”
Dibelenggu stigma hingga terancam kriminalisasi
Meski demikian, belakangan ada draft final aturan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang beradar Mei 2022 lalu, dan dinilai sejumlah pihak bukan hanya semakin menambah stigma terhadap edukasi terkait alat kontrasepsi seperti kondom, tapi juga berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.
Aturan tersebut tertuang dalam draft final RKUHP Pasal 414 yang menyebutkan bahwa , ‘Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Dalam Pasal 416 RKUHP poin 1 juga disebutkan bahwa ‘Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.’
Dua draft aturan di atas menjadi beberapa poin yang dikritisi oleh perwakilan Aliansi Reformasi KUHP, Riska Carolina. Menurutnya frasa pejabat yang berwenang dan relawan yang kompeten justru akan menghambat dan mengkriminalisasi upaya edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) yang selama ini dilakukan oleh para penjangkau lapangan.
“Kalau relawan yang kompeten berarti harus ada yang mengatur siapa yang memberikan kompetensinya. Kemudian pejabat yang berwenang berarti akan ada lembaga atau kementerian yang ditunjuk untuk menjadi penjangkau lapangan,” jelas Riska.
“Sedangkan kita saat ini memiliki lebih dari 500 ribu penjangkau lapangan. Bagaimana nasibnya mereka dan bagaimana perlindungan mereka. Dan ini bertentangan dengan program pemerintah, terkait dengan pencegahan infeksi menular seksual.”
Membongkar stigma terhadap kondom
Padahal, menurut Zoya, saat ini masyarakat membutuhkan edukasi yang lebih meluas untuk bisa menghapus dan membongkar stigma terhadap kondom. Keberadaaan RKUHP justru dianggap tidak tepat di tengah situasi saat ini.
Zoya menambahkan, bahwa semestinya ada aturan yang memberikan perlindungan bagi mereka yang melakukan edukasi terkait kontrasepsi, khususnya kondom ke masyarakat luas.
Di samping itu, Riska mengungkapkan bahwa aliansi RKUHP menuntut agar ada perubahan pada frasa pejabat berwenang untuk dihapus. Sedangkan, untuk frasa ‘relawan kompeten’ diganti menjadi relawan ‘terlatih’.
“Karena pada dasarnya semua orang seharusnya bisa memberikan edukasi terkait kesehatan reproduksi, jangan sampai hanya karena dianggap tabu dan semakin dikuatkan peraturan seperti RKHUP ini justru membuat edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi semakin buruk ke depannya,” tegas Riska.