Tak Semua Situasi Trauma Dapat Diatasi dengan Teknik Pernapasan, Termasuk saat Serangan Panik

Selasa, 30 Agustus 2022 | 09:30 WIB
Tak Semua Situasi Trauma Dapat Diatasi dengan Teknik Pernapasan, Termasuk saat Serangan Panik
Ilustrasi sedang trauma. [Freepik]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nasihat paling sering dilontarkan kepada orang yang sedang mengalami kepanikan, kecemasan, atau menghadapi trauma adalah untuk mengambil napas.

Mengatur napas memang terbukti menurunkan detak jantung, sehingga tubuh bisa kembali rileks. Tetapi, mengatur bukanlan 'obat' yang dapat digunakan pada semua kondisi.

Menyadur Psychology Today, berikut beberapa situasi yang kemungkinan tidak akan mereda hanya dengan mengatur napas:

1. Mengalami serangan panik

Serangan panik dapat membuat napas terasa berat. Kondisi yang disebut hiperventilasi ini terjadi ketika tubuh memiliki lebih banyak oksigen daripada karbondioksida.

Faktanya, mengambil napas lebih banyak atau lebih dalam saat hiperventilasi justru kontraproduktif. Sebab, dalam situasi tersebut ada terlalu banyak oksigen dalam tubuh.

ilustrasi depresi (freepik.com)
ilustrasi serangan panik (freepik.com)

"Mengambil napas dalam-dalam, terutama yang cepat, pada dasarnya memperpanjang dan memperburuk siklus hiperventilasi," kata psikolog sekaligus penulis Julia Englund Strait.

2. Kecemasan sebagai respons terhadap trauma

Banyak penyintas trauma tidak merasa aman ketika berfokus pada sensasi fisik mereka. Para penyintas ini mungkin pernah mengalami trauma medis, serangan seksual. atau disosiasi.

Baca Juga: Lakukan Teknik Pernapasan 456 untuk Bantu Menenangkan Diri, Begini Caranya

Mengambil napas dalam-dalam justru dapat membuat kecemasan mereka meningkat. Bahkan, ini teknik pernapasan dapat menjadi pemicu, karena mereka berpikir harus melakukannya secara benar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI