Jumlah Rawat Inap Akibat Penyakit Paru Obstruktif Kronis di Jepang Menurun, Ini Alasannya

Vania Rossa Suara.Com
Kamis, 18 Agustus 2022 | 06:01 WIB
Jumlah Rawat Inap Akibat Penyakit Paru Obstruktif Kronis di Jepang Menurun, Ini Alasannya
Ilustrasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis [shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Data Japan Medical Data Center (JMDC) sebagai penyedia layanan data statistik medis Jepang, pada Rabu (17/8/2022), menunjukkan bahwa jumlah rawat inap akibat Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) mengalami peningkatan dari 53.481 pada 2010 menjadi 450.761 pada 2019.

Rata-rata peningkatan tertinggi terjadi pada 2012 ke 2013 sebesar 48,98 persen, 2011 ke 2012 sebesar 43,01 persen, dan 2014 ke 2015 sebesar 39,44 persen. Setelah 2015, rata-rata peningkatan rawat inap ada di angka 17,05 persen.

Namun, angka rawat inap akibat PPOK, perburukan gejala PPOK, dan penyakit jantung iskemik ternyata mengalami penurunan setelah hadirnya produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product/HTP).

“Rata-rata jumlah rawat inap karena PPOK sebesar 1,93 persen dari total rawat inap, dengan tren fluktuatif mulai dari 1,83 persen pada tahun 2013 menjadi 2,08 persen pada 2016, kemudian menurun menjadi 1,82 persen pada 2019,” ujar para peneliti seperti dikutip dari penerbit artikel ilmiah dan platform sains terbuka Frontiers.

Baca Juga: Wacana Penghapusan Kelas Rawat Inap untuk BPJS Kesehatan Tak Boleh Dilakukan Sembarangan, Ini Alasannya

Penelitian yang dilakukan oleh Angela van der Plas, Meagan Antunes, Alba Romero-Kauss, Matthew Hankis, dan Annie Heremans itu mencatat bahwa jumlah rawat inap akibat PPOK mengalami penurunan sebesar 0,1 persen-0,2 persen jika dibandingkan dengan waktu sebelum pengenalan produk tembakau yang dipanaskan.

Penelitian jangka panjang tersebut dilakukan terhadap orang dewasa berusia 20-74 tahun dengan waktu rawat inap pada Januari 2010 hingga Desember 2019. Penelitian dijalankan pada lima tahun sebelum dan empat tahun sesudah produk tembakau yang dipanaskan pertama kali dikenalkan di Jepang.

Pasca-penelitian di Jepang, para peneliti menyarankan agar riset serupa dilakukan di negara-negara lain, di mana produk tembakau yang dipanaskan tersedia dan dimanfaatkan. Dengan demikian, data epidemiologi jangka panjang bisa tersedia.

Data itu bisa menjadi sumber referensi penting bagi negara-negara di dunia dalam menyikapi kehadiran produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan.

Baca Juga: 5 Jenis Sakit Infeksi Paru

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI