Suara.com - Menurut GLOBOCAN tahun 2020, kanker tiroid menempati urutan ke-12 dengan kasus kanker terbanyak, yaitu mencapai 13.114. Kasus kanker tiroid ini dua sampai tiga kali lebih berisiko pada perempuan dibandingkan lelaki.
Sayangnya, banyak pasien kanker yang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami kanker, lantaran gejala yang samar. Misalnya Dela Listiya, salah satu pejuang kanker tiroid yang bergabung dalam Yayasan Pitatosca, menceritakan bahwa kesadaran bahwa dirinya terkena kanker bukan dari dirinya, melainkan dari kerabat dan keluarga yang menyadari ada pembesaran pada lehernya.
“Saya melihat ada perubahan pada diri saya, seperti berjerawat, mudah stres, dan beberapa celana saya kebesaran, dan teman-teman saya juga berkomentar bahwa bagian leher saya terlihat sangat besar. Baru setelah itu saya melakukan pemeriksaan awal”, kata Dela.
Hal ini juga ternyata dirasakan oleh Ir. Cahyaniati, M.Si yang juga merupakan pejuang kanker tiroid dan kanker payudara. Setelah 5 tahun survive dari kanker payudara, ia kembali merasakan kejanggalan pada dirinya, seperti napas tersengal-sengal, kesulitan untuk berbicara, dan batuk yang tidak kunjung sembuh. Sampai akhirnya, ia melakukan PET Scan dan ditemukan adanya hiperkalsemi dan akhirnya disarankan untuk melakukan tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid)
Dr. Arif Kurniawan, Sp.B(K)Onk selaku dokter bedah onkologi di RS Royal Mandaya Hospital mengakui bahwa gangguan yang terjadi pada tiroid kadang justru tidak dirasakan oleh pasien itu sendiri, tetapi oleh orang-orang di sekitarnya yang melihat perubahan, ataupun terdeteksi karena adanya pengecekan yang tidak sengaja melalui Ultrasonografi (USG).
Baca Juga: Putin Diisukan Idap Kanker Tiroid, Wajah Bengkak hingga Mandi Darah Tanduk Rusa?
Itu sebabnya, deteksi dini dan awareness masyarakat terhadap kanker tiroid ini perlu ditingkatkan agar masyarakat bisa mendapatkan penanganan lebih dini. Setelah dilakukan deteksi dini, pengobatan dan penatalaksanaan pada pasien pun harus tepat.
Menurut dr. Eko Purnomo, Sp.KN-TM(K) selaku ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia (PKNI), proses pengobatan kanker tiroid, selain dilakukan melalui pembedahan, dilanjutkan dengan metode ablasi yaitu pembersihan sisa pembedahan dengan metode terapi nuklir.
“Biasanya masyarakat khawatir ketika mendengar kata nuklir, tetapi sebenarnya tidak perlu khawatir karena terapi nuklir ini bukan ditembakkan, tetapi metode ini merupakan metode terapi yang dilakukan dengan melalui sistem oral (diminum), sehingga pasien tidak perlu diinfus ataupun disuntik“, kata dr. Eko, mengutip siaran pers yang diterima Suara.com.
Ketika kondisi kanker ini mengalami refrakter (tidak mempan dengan ablasi), prinsip dan metode terapi harus diubah melalui metode sistemik, yaitu metode kemoterapi atau metode terbaru terapi target.
“Terapi target dilakukan dengan cara pasien mengonsumsi obat melalui oral kemudian akan dievaluasi 1 – 2 bulan apakah pasien memberikan respons baik atau tidak” ujar dr. Toman Lumban Toruan, Sp.PD-KHOM, dalam Talkshow Tiroid : It’s Not You. It’s Your Thyroid’ beberapa waktu lalu, yang digelar untuk meningkatkan kesadaran publik tentang kanker tiroid agar tidak terlambat melakukan penanganan medis.
Baca Juga: Ciri Kanker Tiroid yang Jarang Disadari, Kenali Gejalanya
Terakhir, Astriani Dwi Aryaningtyas, S.Psi., M.A selaku ketua Yayasan Pitatosca dan juga penyintas kanker tiroid, mengatakan tidak hanya gejala atau perubahan fisik yang dialami pasien, tetapi dari sisi psikis pasien pun biasanya akan mengalami perubahan.
“Pasien dengan diagnosa kanker tiroid pastinya akan merasa dunianya sudah berakhir, disitu timbul rasa ketakutan yang luar biasa dan kebingungan terkait apa yang harus dilakukan. Tetapi dengan adanya dukungan dari keluarga, kerabat dan tenaga medis yang saling berkolaborasi, tentunya bisa memberikan semangat dan harapan baru," pungkasnya.