Ini Cara Penanganan Bayi Prematur Agar Tak Tumbuh Stunting

Vania Rossa Suara.Com
Senin, 25 Juli 2022 | 22:58 WIB
Ini Cara Penanganan Bayi Prematur Agar Tak Tumbuh Stunting
Ilustrasi bayi prematur. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bayi prematur merupakan bayi yang lahir sebelum minggu ke-37 atau lebih awal dari hari perkiraan lahir. Dan jika penanganannya tidak tepat, bayi prematur ini berisiko alami stunting.

Hal ini dikatakan dokter anak konsultan neonatologi, Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp. A(K), dalam sesi media gathering secara virtual, Senin (25/7/2022).

“Bayi prematur memang belum waktunya, belum siap. Ini kalau tidak ditangani dengan benar, dia akan menjadi potensial penyumbang stunting terbesar,” kata dokter lulusan Universitas Indonesia itu.

Studi mengenai 137 negara berkembang yang dipublikasikan di jurnal PLOS Medicine menyebutkan sebanyak 32,5 persen kasus stunting disebabkan oleh kelahiran prematur.

Baca Juga: Harganas, Orang Tua Diingatkan Agar Tidak Sibuk dengan Gawainya

Sementara itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) memengaruhi sekitar 20 persen dari terjadinya stunting di Indonesia.

Prof. Rina mengatakan bayi dengan kelahiran prematur dan BBLR masuk ke dalam bayi yang berisiko tinggi mengalami stunting.

Ia menjelaskan bahwa bayi prematur terjadi karena pertumbuhan janin yang lebih lambat jika dibandingkan pertumbuhan normal saat masih di dalam kandungan. Namun apabila bayi prematur masih mampu bertahan hidup dan ditangani secara baik dan benar, maka bayi tersebut dapat terhindar dari risiko stunting.

Bayi prematur kemungkinan besar akan mengalami BBLR. Namun sebaliknya, BBLR belum tentu dikatakan sebagai bayi prematur. Bayi prematur dilihat dari waktu kelahiran dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu, sementara BBLR dilihat dari berat lahir yang kurang dari 2.500 gram tanpa memandang usia gestasi.

“Di Indonesia dan beberapa negara berkembang dengan permasalahan pada bayi bisa saja lahir cukup bulan tetapi (tubuhnya) kecil sehingga kita sebut bayi itu BBLR,” kata Prof. Rina.

Baca Juga: Kasus Stunting Hingga Obesitas Anak Masih Tinggi, Begini Penentu Status Gizi Jangka Pendek dan Panjang

Prof. Rina menjelaskan risiko stunting dapat terjadi ketika bayi masih berada di dalam kandungan. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Food and Nutrition Bulletin pada 2009 menyebutkan 20 persen kejadian stunting sudah terjadi sejak saat kelahiran sementara 80 persen terjadi setelah kelahiran.

“Jadi bisa kita cegah yang 80 persen itu. Ada bayi yang tidak tumbuh di dalam kandungan, masih bisa kita kejar (pertumbuhannya setelah kelahiran). Tapi ada juga bayi yang lahirnya bagus, lalu tidak diurus dengan benar (setelah kelahiran),” katanya.

Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya pemantauan tumbuh dan kembang anak pada 1.000 hari pertama kehidupan dimulai sejak dalam kandungan (270 hari) hingga anak berusia dua tahun (730 hari). Dan ia menekankan bahwa orang tua juga harus tetap memantau anak setelah usia dua tahun sehingga tumbuh-kembang bisa optimal.

Stunting sendiri tak selalu dilihat dari tanda fisik, melainkan diidentifikasi melalui perkembangan grafik yang menyeluruh pada buku kesehatan ibu dan anak (KIA) atau buku KIA Khusus Bayi Kecil bagi BBLR. Sebab itu, Prof. Rina mengajak agar para orang tua dapat memahami bagaimana cara mengukur, menimbang, hingga membaca grafik yang tepat sehingga stunting bisa dicegah.

Stunting sendiri memiliki dampak yang berbahaya, salah satunya terkait dengan perkembangan kecerdasan intelektual (IQ). Mengingat hal tersebut, ia juga menekankan pentingnya orang tua bersama tenaga kesehatan melakukan pengukuran antropometri pada lingkar kepala.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI