Suara.com - Saat balita tantrum mungkin akan membuat orang tua ikut bingung terhadap apa yang dirasakan oleh anak. Meski begitu, orang tua sebaiknya tidak meninggalkan anak sendirian saat sedang alami ledakan emosi tersebut.
Psikolog Marsha Tengker, B.A.,M. Sc.,M.Psi., menjelaskan bahwa tantrum sebenarnya termasuk tahapan normal bagi anak untuk mengenal tentang emosi. Oleh sebab itu, diperlukan peran orang tua dalam menjelaskan kepada anak tentang mengenali juga menghadapi emosi yang dirasakannya.
"Tantrum memang tahapan normal bagi anak usia tertentu, jadi harus dilihat lagi anak usia berapa," kata Marsha dalam webinar puncak Hari Anak Nasional bersama Tentang Anak, Kamis (21/7/2022).
Marsha menyampaikan bahwa tantrum normalnya terjadi saat usia anak masih di bawah lima tahun. Setiap anak juga memiliki intensitas emosi berbeda-beda. Sehingga, orang tua tidak bisa membandingkan tingkat tantrum antar anak. Selain itu, makin kecil usia balita juga intensitas tantrum bisa lebih sering terjadi.
Baca Juga: Jangan Hukum Anak saat Tantrum, Ini 3 Cara Ajarkan Anak Ekspresikan Kemarahannya!
"Mungkin dia lebih sulit untuk memahami apa yang terjadi dengan emosinya. Bayangkan aja kalau kita misalnya belum tahu nama rasanya apa, pokoknya nggak enak aja, dan anak enggak tahu apakah itu marah, sedih atau takutnya," paparnya.
"Saking belum tahu, gimana caranya dia bisa tahu, mengelolanya bagaimana, maka terjadilah tantrum itu," imbuh adik Nagita Slavina tersebut.
Sejak lahir, manusia pada dasarnya telah dibekali dengan emosi. Seiring usia anak bertambah perkembangan mengenai emosi yang bisa dirasakan juga kian komplek. Idealnya, lanjut Marsha, anak akan bisa mengenal dan mengelola emosinya seiring ia bertambah besar.
Tetapi, untuk mencapai tahap tersebut, anak perlu belajar dan pendampingan dari orangtua.
"Kalau masih kecil memang belum tahu, belum kenal emosi, belum pernah merasakan itu sebelumnya," ujarnya.
Baca Juga: Anak Larissa Chou Banting-banting Barang saat Tantrum, Warganet Curigai Gen Alvin Faiz
Apabila anak tidak diajarkan untuk mengenal emosi atau bahkan dilarang mengungkapkannya, misalnya tidak boleh sedih, tidak boleh menangis, tidak boleh marah, hal tersebut bisa berdampak teehadap kondisi psikologisnya saat dewasa.
Emosi apa pun yang ditahan untuk diungkap sebenarnya tidak akan benar-benar hilang. Melainkan tetap tersimpan pada alam bawah sadar, kata Marsha.
Oleh sebab itu, anak yang sering dilarang meluatkan emosi dan tidak didampingi saat tantrum bisa berisiko kesulitan untuk memahami perasaannya sendiri saat dewasa.