Suara.com - Guru Besar bidang pemrosesan pangan Departemen Teknik Kimia Belakangan bisfenol A (BPA) menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Hal ini seiring dengan wacana Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk memberi label BPA pada galon guna ulang.
Merespon hal terseut, Guru Besar Bidang pemrosesan pangan Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof. Andri Cahyo Kumoro, mengkritisi produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Ia menilai produsen abai menjaga mutu dan kualitas air kemasan hingga sampai ke tangan konsumen, termasuk pola mengangkut air galon dengan seenaknya sehingga galon kerap terpapar sinar matahari langsung dan terguncang-guncang.
"Ini sangat berpotensi menjadikan BPA terlepas dengan cepat," katanya merujuk pada Bisfenol A (BPA), senyawa kimia yang bisa memicu kanker dan kemandulan.
Baca Juga: Benarkah Galon Guna Ulang Bahaya Bagi Ibu Hamil? Begini Kata Dokter
Menurut Andri, pola distribusi yang seenaknya tersebut terjadi karena masyarakat banyak yang belum mengetahui bahaya paparan BPA. Karena itu, dia bilang pelabelan BPA pada kemasan galon pilihan tepat untuk mendidik masyarakat.
"Saran saya produsen beralih ke kemasan yang lebih aman, yang bebas BPA," katanya.
Hal senada diungkap Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof. Junadi Khotib. Menurutnya, pola distribusi galon guna ulang yang buruk bisa memperparah pelepasan (migrasi) BPA.
"Memang ada penelitian tentang kinetika pelepasan BPA dari kemasan polikarbonat. Semakin tinggi kadar BPA dalam kemasan polikarbonat, BPA yang dilepaskan juga semakin tinggi," kata Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof. Junadi Khotib.
"Hanya saja, pelepasan ini sangat tergantung pada suhu dan tingkat keasaman. Ketika dalam distribusi dan produksi, kemasan galon air minum terpapar cahaya matahari langsung sehingga suhunya meningkat, tentu di sana sangat cepat terjadi migrasi."
Baca Juga: KPPU Bisa Menggunakan Hak Inisiatif Terkait Pelabelan BPA
Menurut Junaidi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tak boleh lagi membiarkan masyarakat terus-menurus terpapar bahan kimia BPA mengingat efeknya pada kesehatan, termasuk gangguan perkembangan otak dan mental anak usia dini.
"BPOM bisa memperkecil peluang paparan risiko BPA melalui pemberian label pada kemasan makanan dan minuman," katanya. "Itu bagian dari edukasi publik sekaligus bentuk perlindungan untuk masa depan anak-anak Indonesia."
Menurut Junaidi, sampai saat ini masyarakat belum banyak mengetahui risiko BPA pada galon polikarbonat. "Bagaimana bisa tahu bila label peringatannya belum pernah ada," katanya.
Padahal, lanjutnya, pelepasan (migrasi) BPA ke dalam makanan atau minuman adalah sesuatu yang jamak pada kemasan pangan dari jenis plastik polikarbonat. "Dipastikan migrasi BPA itu terjadi," katanya.
Data BPOM menyebut 96,4% galon bermerek yang beredar luas di pasaran menggunakan kemasan polikarbonat--jenis plastik keras yang pembuatannya menggunakan bahan campuran BPA. Sementara itu, penelitian mutakhir BPOM atas level migrasi BPA pada galon guna ulang, baik di fasilitas produksi, distribusi dan peredaran, menunjukkan pelepasan bahan kimia itu "sudah sangat mengkhawatirkan".
Menurut Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Rita Endang, temuan anyar itu ikut melatari keputusan BPOM mengeluarkan draft peraturan pelabelan risiko BPA atas galon polikarbonat. Dalam draft, kini jelang pengesahan, BPOM mewajibkan produsen yang menggunakan galon polikarbonat untuk memasang label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali mampu membuktikan sebaliknya. Draft juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan selama tiga tahun.