Suara.com - Angga Sisca Rahadian, Frida Kurniawati dan Wabilia Husnah, tiga peneliti dari BRIN, melihat wacana cuti melahirkan 6 bulan dalam RUU KIA bisa menjadi bumerang bagi perempuan. Berikut uraian mereka seperti yang sebelumnya diulas di The Conversation.
Wacana cuti melahirkan 6 bulan dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA pastinya memiliki tujuan positif, terutama demi memastikan pemenuhan air susu ibu atau ASI eksklusif.
Berdasarkan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), ASI eksklusif sebaiknya diberikan selama 6 bulan. Tak terelakkan bahwa ASI eksklusif memang memiliki manfaat yang signifikan bukan hanya untuk bayi, namun juga untuk ibu, keluarga, lingkungan, dan ekonomi.
Aturan cuti melahirkan yang saat ini hanya 3 bulan, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, dianggap menjadi salah satu faktor rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif. Pasalnya, para ibu harus kembali bekerja setelah masa cuti yang cenderung pendek ini berakhir.
Sepintas, wacana perpanjangan cuti melahirkan tersebut seakan memberikan angin segar bagi perempuan. Namun, jika dilihat lebih jauh, kebijakan tersebut juga dapat menjadi bumerang bagi perempuan dan justru menjadi celah untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik.
Menjauhkan perempuan dari akses ekonomi
RUU KIA mengatur bahwa selama pekerja perempuan menjalani cuti hamil 6 bulan, ia hanya akan mendapatkan gaji penuh di 3 bulan pertama. Pada 3 bulan selanjutnya, gaji yang akan dibayarkan hanya sebanyak 70%.
Aturan tersebut justru akan menjadikan perempuan memiliki nilai tawar yang jauh lebih rendah untuk bersaing dengan laki-laki di dunia kerja.
Akan banyak pemberi kerja yang pada akhirnya memilih untuk tidak mempekerjakan perempuan, karena dianggap kurang berkontribusi pada pekerjaan saat hamil dan melahirkan. Mereka akan memilih mempekerjakan laki-laki demi menjaga produktivitas perusahaan.
Kasarnya, untuk apa membayar pekerja yang tidak bekerja selama berbulan-bulan?