Suara.com - Gaya hidup sedentari alias malas bergerak dituding menjadi penyebab meningkatnya kasus penyakit tidak menular di Indonesia.
Dijabarkan Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Ditjen Kesmas Kementerian Kesehatan dr. Imran Agus Nurali, SpKO berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, proporsi penduduk Indonesia dengan gaya hidup sedentari atau pola hidup yang minim aktivitas fisik, mengalami peningkatan dari 26,1 persen pada 2013 menjadi 33,5 persen pada 2018.
“Artinya 1 dari 3 orang menjalani gaya hidup sedentari,” kata Imran terkait data Riskesdas itu yang disampaikan saat konferensi pers virtual.
Imran mengatakan peningkatan kasus PTM secara signifikan akan menambah beban masyarakat dan pemerintah mengingat penanganannya membutuhkan banyak waktu, biaya besar, serta teknologi tinggi.
Baca Juga: Kasus TBC Meningkat karena Dampak Covid-19, Kemenkes Segera Akselerasi Program Penanganannya
Menurut Imran, kampanye edukasi masyarakat dan deteksi dini PTM merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk mengendalikan faktor risiko. Ia mengimbau agar masyarakat menjalani gaya hidup "CERDIK" dan gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS) secara teratur, serta mengurangi GGL (garam, gula, dan lemak) untuk mencegah PTM salah satunya juga termasuk diabetes.
“Dan kami di Kemenkes percaya bahwa inisiatif dari para pemangku kepentingan, termasuk juga dari sektor swasta maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), untuk terus mengingatkan publik tentang hal ini,” katanya.
Melalui kampanye edukasi, ia berharap cara tersebut dapat menginspirasi masyarakat untuk melakukan deteksi dini atau skrining kesehatan sebagai bagian dari gaya hidup GERMAS.
Salah satu PTM yang menjadi sorotan adalah kerusakan saraf atau neuropati. Ketua Pokdi Neuro Fisiologi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K), menjelaskan bahwa neuropati gangguan pada sistem saraf tepi dengan gejala umum seperti kebas, kesemutan, rasa seperti tertusuk, dan sensasi terbakar di tangan dan kaki yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
“Saraf tepi atau perifer menghubungkan sistem saraf pusat dengan semua bagian penting tubuh,” kata Manfaluthy.
Baca Juga: Presiden Mau Hasil Konkrit di G20, Kemenkes Kejar 5 Target Ini
Ia mengimbau agar masyarakat membekali diri dengan lebih mengenal gejala-gejala neuropati dan melakukan deteksi dini agar pengobatan lebih awal dapat dilakukan termasuk pemberian vitamin neurotropik.
“Hal tersebut (deteksi dini) bertujuan untuk mencegah dampak neuropati yang lebih berat, karena kerusakan saraf dapat bersifat irreversible jika lebih dari 50 persen serabut saraf telah rusak,” katanya. [ANTARA]