Suara.com - Ahli kimia sekaligus pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebuat banyak masyarakat keliru dalam memahami soal bahaya BPA.
Ia menyebut bahwa banyak pihak yang menyamakan antara BPA sebagai zat kimia dan BPA sebagai bahan pembantu dalam pembuatan kemasan pangan dalam bentuk polimer.
Dalam keterangannya, jumat, (17/6/2022), dia menegaskan bahwa BPA sebagai zat kimia itu berbeda pengertiannya dengan BPA yang sudah membentuk kemasan. Menurutnya, banyak masyarakat yang salah mengartikannya.
Dia melihat beberapa pihak sering hanya melihat dari sisi BPA-nya saja yang disebutkan berbahaya bagi kesehatan tanpa memahami bahan bentukannya pada kemasan pangan yang menjadi aman jika digunakan. Dia mengutarakan BPA itu digunakan dalam proses pembuatan plastik berbahan Polikarbonat (PC).
Tidak hanya Bisfenol A (BPA), semua zat kimia seperti antimon, stiren, dan lain-lain, secara scientific dapat beracun bagi tubuh jika masuk dalam jumlah banyak. Karenanya, jika zat-zat kimia itu digunakan untuk keperluan pangan, ada pengawasan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebelum diizinkan beredar.
Jangankan BPA dan Antimon, garam dapur saja, menurut Zainal, terbentuk dari zat-zat kimia berbahaya yaitu Natrium dan Chloride. Dia mengatakan zat Natrium itu berbahaya bahkan bisa jadi peledak. Begitu juga dengan Klor sama berbahayanya dan bahkan bisa menyebabkan kematian bagi orang yang menghirupnya.
“Tapi, apakah manusia menjadi mati atau berpenyakit saat menggunakan garam dapur ini, kan tidak. Apalagi kita hampir setiap hari menggunakannya,” ujarnya.
Untuk itu, Zainal meminta agar masyarakat memahaminya agar tidak dibelokkan oleh informasi yang bisa menyesatkan dan merugikan seperti yang ada dalam pemberitaan-pemberitaan saat ini.
Dia juga berharap agar para pakar dan regulator menjelaskan isu BPA ini secara benar kepada masyarakat secara ilmiah dan jangan dikontroversikan menurut ilustrasi masing-masing yang bisa menyesatkan.
Baca Juga: Pemerintah Ingatkan Sampah Kemasan Plastik Kian Bertambah: Butuh Upaya Konkret
“Jadi, harus dengan data ilmiah sehingga masyarakat kita akan memahami dan bisa mengambil keputusan sendiri,” ujarnya.