Suara.com - Usulan Ketua DPR RI, Puan Maharani untuk cuti hamil dan cuti melahirkan enam bulan mendapat dukungan dari peneliti laktasi. Peneliti tersebut mencoba menunjukan sebuah bukti penelitian, di mana keputusan tersebut juga akan menguntungkan perusahaan.
Adapun usulan cuti hamil dan cuti melahirkan yang ditambah dari tiga bulan menjadi enam bulan ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang sedang digodok DPR-RI di Parlemen, Senayan.
Peneliti Laktasi dan Nutrisi Program Studi Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dr. Ray Wagiu Basrowi mengatakan, seharusnya rencana kebijakan ini bisa diterapkan sejak lama.
"Mulai dari hasil review mendalam dan expert consensus penelitian kami sejak sepuluh tahun silam menunjukkan bahwa memperpanjang cuti melahirkan hingga enam bulan mutlak memberi daya ungkit terhadap keberhasilan ASI eksklusif, kesehatan ibu dan bayi serta mempertahankan produktivitas pekerja perempuan," ungkap dr. Ray melalui keterangannya yang diterima Suara.com, Kamis (16/6/2022).
Baca Juga: Ketua DPR Usul Cuti Melahirkan 6 Bulan, Ini 6 Manfaat Cuti Melahirkan Bagi Wanita yang Bekerja
Ia mengungkap beberapa hasil penelitian yang dilakukan tim kedokteran kerja FKUI sejak 2012 silam, terkait dengan cuti melahirkan enam bulan untuk pekerja perempuan.
Dari beberapa penelitian terdapat kesimpulan yang sama, kebijakan ini dinilai akan meningkatkan peluang keberhasilan ASI eksklusif. Ditambah bisa memaksimalkan status kesehatan ibu dan bayi.
Bahkan penelitian itu juga menyebutkan, cuti melahirkan enam bulan ini bisa meningkatkan produktivitas kerja delapan kali lipat lebih baik dari sebelumnya.
"Sebaliknya apabila ibu menyusui harus kembali bekerja di usia bayi dua hingga tiga bulan, maka risiko kesehatan meningkat signifikan, terutama karena proses laktasi (proses menyusui) terganggu, yang mengakibatkan produktivitas kerja tidak maksimal," tambahnya.
Ia menyebutkan, penelitian ini bisa dilihat di jurnal nasional dan internasional, seperti yang diterbitkan di jurnal PGHN bertajuk “Benefits of a Dedicated Breastfeeding Facility and Support Program for Exclusive Breastfeeding among Workers in Indonesia”.
Penelitian itu membuktikan cuti melahirkan tiga bulan dan gagal ASI eksklusif mengakibatkan kondisi kualitas kerja menurun drastis, dan peluang ibu pekerja untuk absen dari pabrik maupun kantor meningkat dua kali lebih banyak.
Adapun penelitian dimulai sejak 2012 hingga 2015, menegaskan pekerja buruh perempuan yang kembali bekerja saat usia bayi tiga bulan, punya tingkat kegagalan ASI Eksklusif hingga 81 persen.
"Artinya hanya 19 persen buruh menyusui yang bisa ASI eksklusif," tutup dr. Ray.
Pro-Kontra Cuti Melahirkan Enam Bulan
Sebelumnya Puan mengatakan cuti melahirkan enam bulan sedang dipertimbangkan, karena menurutnya seorang ibu wajib mendapat waktu yang cukup untuk memberikan ASI bagi anak-anaknya, termasuk bagi ibu pekerja.
"RUU KIA juga mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan," tutur Puan Maharani.
Tapi RUU KIA juga disebut sudah menimbulkan keresahan dari warganet. Walau beberapa menyuarakan pendapat setuju, yang lain justru khawatir kesempatan kerja bagi perempuan jadi terbatas karena cuti hamil dan melahirkan menjadi enam bulan.
"Kenapa gak ada cuti untuk bapaknya juga? Padahal kan si suami juga jadi bapak baru, gak cuma ibu doang. Sempet baca di luar negeri malah cuti untuk bapaknya sebulan," komentar warganet.
"Bukannya bagus kebijakan ini? Cuti yang sebelumnya cuma tiga bulan, sekarang diperpanjang jadi enam bulan. Bagus buat ibu dan anaknya juga," sambung warganet.
"Entah ini nyari suara atau apa, kalau berlebihan pun nanti malah dari swasta enggan nyari pegawai perempuan gak si? Bayangin aja harus gaji setengah tahun. Nanti jadi susah nyari kerja gak si?" tanya warganet lainnya.