Suara.com - Rencan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengeluarkan regulasi pelabelan risiko Bisfenol A atau BPA pada galon mendapatkan dukungan dari berbagai pihak mulai dari peneliti, hingga akademisi.
"Masyarakat banyak yang belum mengetahui bahaya paparan BPA," kata Guru Besar bidang pemrosesan pangan Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof. Andri Cahyo Kumoro, dalam keterangannya, Selasa, (14/6/2022)
Dalam sebuah sarasehan yang bertepatan dengan Hari Keamanan Pangan Sedunia pada 7 Juni, Kepala BPOM, Penny K. Lukito, menyebut pelabelan BPA perlu agar publik mendapatkan haknya untuk mengetahui informasi produk yang mereka konsumsi.
Pelabelan tersebut juga untuk mengantisipasi munculnya gugatan hukum terkait keamanan produk air kemasan yang tertuju pada pemerintah dan kalangan produsen di masa datang, katanya.
Menurut BPOM, penelitian dan riset mutakhir di berbagai negara, termasuk Indonesia, menunjukkan BPA bisa memicu perubahan sistem hormon tubuh dan memunculkan gangguan kesehatan termasuk kemandulan, penurunan jumlah dan kualitas sperma, feminisasi pada janin laki-laki, gangguan libido dan sulit ejakulasi.
Paparan BPA juga disebutkan bisa memicu gangguan penyakit tidak menular semisal diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal kronis, kanker prostat dan kanker payudara. Sementara pada anak-anak, paparan BPA dapat memunculkan gangguan perkembangan kesehatan mental dan autisme.
Menurut Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia yang sekaligus ahli penyakit dalam Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, BPA "sangat dicurigai" memberikan kontribusi pada perkembangan kanker dalam tubuh manusia.
"Bukan tanpa alasan, sebab zat kimia tersebut rupanya mampu menyerupai hormon estrogen," katanya belum lama ini.
Karena pertimbangan yang sama, menurut Andri Cahyo, pelabelan BPA pada kemasan galon pilihan tepat untuk mendidik masyarakat.
Baca Juga: Rencana Pelabelan BPA Pada Galon Oleh BPOM Masih Bikin Sejumlah PIhak Heran
"Di Indonesia, produsen mengangkut air galon dengan santai, galon kerap terpapar sinar matahari langsung, terguncang-guncang. Ini sangat berpotensi menjadikan BPA terlepas dengan cepat," katanya menyoroti produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang abai menjaga mutu dan kualitas air kemasan hingga sampai ke tangan konsumen.
"Saran saya produsen beralih ke kemasan yang lebih aman, yang bebas BPA," katanya.
Pandangan senada datang dari ahli epidemologi dari Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, Pandu Riono. Menurut Pandu, penelitian dan riset mutakhir di berbagai negara "semakin menguatkan bukti ilmiah tentang ancaman BPA" pada wadah minuman dan makanan.
"Industri sebaiknya memilih wadah yang lebih aman," katanya menekankan pentingnya kerjasama pemerintah dan ilmuwan untuk mengedukasi publik ihwal risiko BPA.
Dari Surabaya, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof. Junaidi Khotib, mendesak pemerintah untuk tidak membiarkan masyarakat terus-menurus terpapar BPA.
"BPOM bisa memperkecil peluang paparan risiko BPA melalui pemberian label pada kemasan makanan dan minuman," katanya.
"Itu bagian dari edukasi publik sekaligus bentuk perlindungan untuk masa depan anak-anak Indonesia."