Suara.com - Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan dampak pandemi Covid-19 dalam peningkatan jumlah tenaga kerja anak. Kok bisa meningkat?
Dilansir Anadolu Agency, pejabat senior ILO Benjamin Smith menyebut peningkatan tenaga kerja anak alias buruh anak di dunia terjadi akibat situasi ekonomi yang memburuk.
Diketahui sebelum pandemi, ada lebih dari 160 juta anak yang terpaksa bekerja dan mencari upah. Dalam waktu 2 tahun saja, pandemi berhasil menambah jumlahnya hingga 9 juta anak.
Smith mengatakan lebih dari 70 persen tenaga kerja anak bekerja di sektor pertanian. Mereka rata-rata berasal dari keluarga kurang mampu dan bekerja secara informal.
Baca Juga: Menaker Sampaikan Empat Kemajuan Ketenagakerjaan Indonesia di Hadapan Anggota ILO
Mirisnya, laporan ILO yang bekerja sama dengan UNICEF menyebut lebih dari setengah tenaga kerja anak berada di lingkungan kerja yang berbahaya dan mengancam nyawa.
tenaga kerja anak, yang rata-rata berusia 5-17 tahun, terbanyak berada di kawasan Afrika, dengan Asia-Pasifik, Amerika Selatan, dan Kepulauan Karibia yang berangsur membaik.
Indonesia sendiri sejatinya sudah melarang praktik kerja anak, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 68.
Sementara itu, Direktur Jenderal ILO Guy Ryder meminta negara-negara dunia memberikan perlindungan penuh terhadap anak. Peningkatan jumlah tenaga kerja anak di masa pandemi tidak boleh dibiarkan dan harus jadi perhatian penuh.
"Perlindungan sosial yang baik adalah cara paling tepat untuk mencegah anak menjadi buruh kerja. Dengan perlindungan sosial, keluarga mendapatkan bantuan selama menjalani masa-masa sulit," terangnya dikutip dari situs resmi ILO.
Baca Juga: Pekerja Muda Paling Banyak Alami Kecelakaan Kerja, ILO Dorong Terciptanya Dialog Sosial Multisektor