Suara.com - Penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), seperti kopi susu kekinian dan teh kemasan, menjadi salah satu bentuk pencegahan meningkatnya kasus penyakit tidak menular di Indonesia. Apa hubungannya?
Dijelaskan oleh dr Rudy Kurniawan, SpPD, DipTH selaku founder Sobat Diabet, makanan dan minuman yang tinggi kandungan gula merupakan faktor risiko penyebab kegemukan dan obesitas, yang pada akhirnya meningkatkan potensi seseorang terserang diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah, hingga gagal ginjal.
Penyakit tidak menular sendiri merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Data Global Burden of Disease tahun 2019 memperlihatkan bahwa 7 dari 10 penyebab kematian tertinggi adalah penyakit tidak menular. Oleh karena itu, pencegahan penyakit tidak menular perlu menjadi perhatian bersama.
"Data American Diabetes Association tahun 2020 menyebut kejadian sindrom metabolik, termasuk diabetes, dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara perilaku, genetik, sosioekonomi dan banyak yang di luar kendali individu. Jadi gak bisa tuh ngomong pencegahan diabetes hanya dari individu seperti makanan dan minumannya saja, tapi juga ada peran komunitas hingga pemangku kepentingan," tutur dr Rudy dalam Health Editorials Meeting yang diselenggarakan oleh Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Selasa (7/6/2022).
Baca Juga: Riset CISDI: Rerata Remaja Indonesia Konsumsi Minuman Manis Hingga 4,7 Mililiter per Hari
Peneliti CISDI Gita Kusnadi menyebut Indonesia merupakan negara dengan konsumsi MBDK tertinggi ketiga di dunia. Anak-anak dan remaja menjadi populasi dengan rerata paling tinggi.
Untuk itu Gita mengatakan perlu ada aturan baku yang bertujuan membatasi konsumsi MBDK. Tujuannya, menyelamatkan masyarakat dari ancaman penyakit tidak menular yang terus meningkat. Ia pun memberikan alasan mengapa cukai MBDK perlu segera diterapkan di Indonesia.
"Kebijakan cukai MBDK dapat membantu mengurangi konsumsi, yang merupakan upaya preventif guna menurunkan tingkat kematian terkait penyakit tidak menular," terangn Gita.
Ia juga menyoroti beban ganda penyakit tidak menular di masa pandemi Covid-19. Studi membuktikan orang dengan diabetes memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi Covid-19 dan mengalami keparahan hingga kematian karena infeksi tersebut.
Selain dampak kesehatan, penerapan cukai MBDK juga memiliki dampak sosial dan ekonomi. Konsumsi minuman berpemanis yang berlebihan berdampak negatif pada ekonomi nasional, dalam hal ini pengeluaran untuk pembiayaan penyakit tidak menular oleh BPJS Kesehatan.
Baca Juga: Jaga Kesehatan Masyarakat, YLKI Dukung Rencana Penerapan Cukai Minuman Berpemanis
"Laporan BPJS Kesehatan menyebut biaya layanan primer dan rujukan perawatan diabetes meningkat hingga 29 persen dari 84 triliun hingga mencapai 108 triliun rupiah," tegasnya.
Sementara itu, manfaat penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan juga akan dirasakan oleh negara. Menurut estimasi Kementerian Keuangan, cukai MBDK berpotensi meningkatkan pemasukan negara mulai Rp 2,7 triliun hingga Rp 6,25 triliun.
"Potensi tambahan penerimaan negara ini dapat digunakan untuk membantu pembiayaan upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat di Indonesia yang alokasi anggarannya masih sangat minim, khususnya terkait PTM seperti diabetes dan obesitas," tambahnya lagi.
Penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan juga mendapat dukungan dari Yayasan Jantung Indonesia. dr Ario Kuncoro selaku salah satu pengurus mengatakan cukai MBDK menjadi salah satu bentuk pencegahan kematian karena penyakit jantung dan pembuluh darah.
Ia menyebut saat ini masyarakat masih belum teredukasi dengan baik soal bahaya kelebihan konsumsi gula, dengan menjamurnya minuman berpemanis dalam kemasan yang bisa didapat dengan mudah.
"Kalau kita bisa membuat regulasi soal ini, bisa menjadi tonggak pentingnya upaya preventif untuk penyakit tidak menular. Tidak mudah memang karena harus berhadapan dengan industri, tapi ini challenge yang harus diambil," tandasnya.