Cakupan Imunisasi Menurun Selama Pandemi, Satgas IDAI Ungkap Fakta Mengejutkan Kasus Penyakit Menular Berbahaya Anak

Ririn Indriani Suara.Com
Minggu, 05 Juni 2022 | 12:19 WIB
Cakupan Imunisasi Menurun Selama Pandemi, Satgas IDAI Ungkap Fakta Mengejutkan Kasus Penyakit Menular Berbahaya Anak
Pekan Imunisasi Nasional di berbagai daerah, Selasa (8/3).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tidak hanya Covid-19, penyakit menular berbahaya lainnya terus mengancam anak-anak Indonesia, terlebih selama pandemi cakupan imunisasi anak mengalami penurunan.

Padahal imunisasi anak merupakan upaya perlindungan terhadap penyakit menular seperti campak, rubela, difteri, polio (lumpuh layuh), pneumonia (radang paru), diare, tetanus bayi, dan lain-lain yang bisa menimbulkan risiko kecacatan hingga kematian apabila tidak ditangani.

Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, SpA (K)., MSi mengatakan, setiap tahun di Indonesia selalu terjadi kejadian luar biasa (KLB) campak, rubella, dan difteri dengan catatan korban kematian dan kecacatan pada bayi dan balita yang tinggi.

Sayangnya kondisi tersebut tidak diimbangi dengan cakupan imunisasi bagi anak-anak di masa pandemi Covid-19 sejak 2020 hingga saat ini yang terhitung menurun sehingga perlindungan juga turun di kelompok umur anak-anak.

Baca Juga: Tingkatkan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Anak, Ini Tiga Strategi Pemerintah

Padahal, pencegahan terbaik dari tertular dan risiko penyakit menular tersebut adalah melalui cakupan imunisasi yang tinggi.

Mengutip data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait peningkatan kasus penyakit menular di 2021 antara lain, kata Prof. Soedjatmiko, kasus campak meningkat di 71 Kab/Kota di 25 provinsi. Kasus rubela di tahun yang sama meningkat 84 Kab/Kota di 25 provinsi.

Sementara untuk kasus difteri, lanjut dia, meningkat di 96 Kab/Kota di 23 provinsi. Ini karena cakupan imunisasi campak rubella di 2020-2021 menurun sekitar 81-86% pada bayi, lalu anak usia kurang dari 2 tahun cakupan imunisasinya turun sekitar 65-67%, dan murid SD kelas 1 di hampir semua provinsi berada di bawah target perlindungan cakupan imunisasi.

“Kasus positif campak anak umur 0–15 tahun di Indonesia pada 2020 sebanyak 80%, dan 2021 sebanyak 74%. Sementara itu kasus positif rubela di Indonesia untuk anak usia 0-15 tahun di 2020 sebanyak 80%, sedangkan di 2021 sebanyak 84%," rinci Prof Soedjatmiko yang juga anggota Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) ini.

Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan Kemenkes memberikan tambahan imunisasi campak rubela mulai umur 9 bulan sampai 15 tahun, tergantung cakupan imunisasi campak rubella di setiap provinsi.

Baca Juga: Waduh! Pandemi Covid-19 Bikin 1,7 Juta Anak Indonesia Belum Disuntik Imunisasi Dasar Lengkap

Lebih lanjut lagi, data yang disampaikan pakar kesehatan yang akrab disapa Prof. Miko untuk cakupan imunisasi difteri di 2020-2021 juga turut menurun.

Imunisasi DPT4 pada bayi hanya memiliki cakupan sekitar 68-51%, imunisasi Difteri Tetanus (DT) untuk kelas 1 SD, Tetanus Diphteria (Td) untuk kelas 2 SD dan kelas 5 SD
di hampir semua provinsi di Indonesia dibawah target cakupan perlindungan yang ditetapkan WHO.

Cakupan vaksinasi polio oral untuk mencegah polio serotipe 1 dan 3 menurun pada periode 2020-2021 dengan cakupan sekitar 86-70%.

Begitu juga dengan vaksin polio suntik untuk mencegah polio serotipe 1, 2, 3 menurun drastis 37-58%, sehingga perlindungan terhadap polio serotipe 2 sangat rendah di Indonesia.

Untuk mencegah bahaya campak, rubella, difteri, dan polio inilah pemerintah dalam hal ini Kemenkes menggelar Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN).

Tujuannya memberikan imunisasi tambahan campak rubela sebanyak satu dosis tanpa memandang status imunisasi campak rubela sebelumnya.

Lalu pada program BIAN juga digelar imunisasi kejar untuk melengkapi status imunisasi polio tetes, polio suntik, dan difteri balita selain campak rubela di seluruh provinsi.

“Vaksin yang digunakan dalam program BIAN adalah vaksin yang sudah lama digunakan dalam program imunisasi di Indonesia dan beberapa negara lain sejak lama, dan terbukti aman serta bermanfaat mencegah sakit berat, cacat dan kematian akibat penyakit menular. Maka supaya kadar antibodi tetap tinggi, bertahan lama, dan tidak cepat habis, beberapa imunisasi harus diulang beberapa kali,” ujar Prof. Miko.

Ia menyarankan orangtua sebaiknya mengingat dan menyimpan kartu catatan imunisasi rutin anak-anak mereka agar perlindungan yang diberikan melalui imunisasi
lengkap.

Namun apabila keluarga ragu, dianggap imunisasi belum lengkap, dan bisa segera melengkapi imunisasi anak-anak mereka.

Pengulangan maupun penambahan dosis imunisasi anak-anak tidak berbahaya, justru antibodi yang dihasilkan akan menjadi lebih tinggi dan lebih lama.

“Apabila kita menyebarkan informasi yang benar terkait besarnya risiko akibat penyakit-penyakit tersebut, dan manfaat imunisasi untuk mencegahnya, maka kita berharap semua orangtua melengkapi imunisasi balitanya. Apabila imuniasi kurang lengkap, maka KLB penyakit menular akan terus terjadi di Indonesia," terang Prof. Miko.

Nah, hal yang perlu dilakukan saat ini, kata dia, adalah dengan menyentuh hati nurani orangtua. "Karena orangtua yang benar-benar sayang anak, tentu akan berusaha melindungi anaknya dari penyakit menular dengan melengkapi imunisasinya,” tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI