Suara.com - Hingga saat ini Indonesia masih ketergantungan dengan bahan baku obat impor. Hal tersebut yang kerap membuat harga obat di Indonesia melambung tinggi.
Menurut data, 90 persen bahan baku obat masih bersumber impor. Sementara itu, berdasarkan data produk yang tayang di e-katalog, sekitar 34,7 persen merupakan produk impor, yang didominasi oleh produk-produk inovatif (produk patent dan produk biologi, termasuk produk darah).
Oleh sebab itu, pemerintah memberikan fasilitasi change source atau pergantian sumber bahan baku impor dengan bahan baku produksi dalam negeri. Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama Holding BUMN Farmasi menyebutkan perubahan sumber daya ini adalah bagian dari terobosan baru untuk mengurangi ketergantungan bahan baku impor yang masih sangat tinggi.
“Kalau saat ini kita masih impor sekitar 90%, di group kami (Holding BUMN Farmasi) bisa mengurangi hingga 20% kebergantungan bahan baku obat, ini target kita ini sudah ada di road map yang kita buat hingga 2026, memang ini agak susah untuk menjadi 0% karena ada industri hulu, kimia dasar yang juga harus kita perbaiki untuk bisa terangnya.
Baca Juga: Menkes Budi Blak-blakan Ungkap Dugaan Ada Mafia Obat di Indonesia, Siapa Itu?
Untuk mencapai target tersebut, Honesti Baasyir mengharapkan dukungan pemerintah dari sisi regulasi yang lebih simpel dan mudah.
“Kami yakin dengan dukungan pemerintah seperti Kemenkes, kita bisa menyatukan tekad kita untuk saling mendukung dengan menyesuaikan regulasi, sehingga kami bisa melakukan produksi lebih cepat dan bersaing dengan impor. Karena dengan skala ekonomi yang terbatas, tentunya kita belum bisa bersaing full dengan impor,” harapnya.
Merespon hal ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu pemerintah dalam mewujudkan kemandirian sediaan farmasi dalam negeri melalui pemanfaatan bahan baku obat dalam negeri termasuk dalam hal ini Holding BUMN Farmasi.
Belajar dari pandemi Covid-19, ketersediaan obat dan alat kesehatan adalah hal yang sangat esensial. Karenanya ketersediaannya harus mencukupi dan tersedia di dalam negeri sehingga apabila dibutuhkan sewaktu-waktu bisa segera dipenuhi.
“Bahan baku mulai dari hulu ke hilir kalau bisa di dalam negeri, siapa yang buat terserah, jadi kalau ada pandemi lagi kita tidak perlu cari dari luar, jadi yang kita lakukan adalah salah atau program di transformasi sistem kesehatan yaitu membangun industri bahan baku obat,”katanya.
Baca Juga: Menkes Budi Gunadi Sebut Sudah 412 Juta Dosis Vaksin Covid-19 Diberikan ke Masyarakat Indonesia
Selain percepatan pengembangan bahan baku obat dalam negeri, Menkes mendorong Dirjen Kefarmasian dan alat kesehatan untuk mengembangkan obat-obatan berbasis plasma dan obat-instan.
Harapannya, keberagaman bahan baku ini bisa semakin mengurangi ketergantungan farmasi dari luar negeri.
Menkes meminta perluasan bahan baku ini diiringi dengan kemudahan birokrasi perizinan bagi perusahaan yang akan memproduksinya, sehingga lebih cepat.
“Kami di Kementerian Kesehatan akan lebih agresif lagi untuk membangun industri obat berbasis bioteknologi yang merupakan bagian transformasi ke-6 yakni transformasi biokteknologi kesehatan,” ujar Menkes.
Selain melakukan kick off fasilitasi change Source, Menkes juga meresmikan PT PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia yang telah menyelesaikan pembangunan fasilitas produksi bahan baku Povidone Iodine.