Suara.com - Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Tidak heran jika pengembangan obat tradisional berbahan dasar tanaman obat perlu dikembangkan.
Sayangnya menurut dr. Inggrid Tania, M.Si(Herbal), Ketua Perkumpulan Dokter Pengembangan Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), perkembangan obat tradisional di Indonesia belum maksimal. Sebab dibutuhkan riset dan penelitian dengan biaya dan waktu yang tidak sedikit untuk melakukannya.
dr Inggrid menjelaskan berbeda dengan obat konvensional yang rata-rata memiliki satu komponen aktif sehingga manfaat dan efek samping bisa terlihat langsung saat penelitian, obat tradisional mengandung banyak komponen. Sehingga untuk mencari komponen, dalam hal ini zat aktif yang mengandung manfaat dan menyebabkan efek samping, butuh waktu lebih lama.
"Tantangan terkait riset adalah obat tradisional harus melalui uji klinis dan penelitian seperti obat konvensional. Padahal untuk bisa melakukan penelitian, dibutuhkan ribuan sampel tanaman, sebelum diambil ekstraknya untuk diuji," terang Inggrid dalam Dialog Nasional Percepatan Riset dan Pemanfaatan Jamu/Herbal Terstandar oleh Dokter Pada Pelayanan Kesehatan, Sabtu (28/5/2022).
Baca Juga: BPOM Luncurkan Program Zona Ramah Promosi Online, Apa Fungsinya?
dr Inggrid mengambil contoh tanaman akar bajakah yang belakangan populer digunakan masyarakat karena memiliki manfaat untuk kesehatan. Tanaman bajakah saat ini hanya bisa ditemukan di dalam hutan Kalimantan, liar, dan belum bisa dibudidayakan.
"Untuk bisa mendapatkan ektrak akar bajakah sebanyak 2 kilogram, ada lebih dari 1.200 pohon yang ditebang. Padahal kita belum tahu cara budidayanya. Khawatirnya tanaman ini nanti punah di Kalimantan karena ekploitasi makin banyak, sementara penelitian belum selesai," terangnya lagi.
Bukan hanya soal bahan baku riset, tantangan lain tentang pengembangan obat tradisional adalah kesejahteraan dan insentif bagi peneliti. Belum lagi dokumentasi tentang pengetahuan obat tradisional yang belum baik, sehingga ilmu yang didapat dari kebudayaan leluhur bisa hilang.
Oleh karena itu, ia mendukung adanya peraturan terkait standarisasi bahan baku obat tradisional alias simplisia. Dengan adanya standarisasi, waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan riset bisa berkurang.
Di saat bersamaan, manfaat yang didapat sudah dibuktikan sebelumnya, membuat produksi obat tradisional oleh industri semakin mudah.
Baca Juga: Ratusan Ribu Link Obat Tradisional Dihapus dari Internet
"Standarisasi bahan baku penting bukan cuma keamanan (obat -red). Standarisasi juga menekan biaya uji klinis yang mahal," terangnya.
Di kesempatan yang sama, Prof. Dr. NLP Indi Dharmayanti, M.Si, Kepala Organisasi Riset Kesehatan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengatakan untuk bisa dikembangkan secara maksimal, penelitian obat tradisional memerlukan rancangan induk.
Rancangan induk alias grand design diperlukan untuk memastikan arah dan fokus penelitian bahan alam untuk penemuan obat-obatan agar sumber daya yang tersedia bisa dimanfaatkan secara maksimak.
"Adanya grand design bisa membantu meningkatkan efisiensi sumberdaya, mengurangi terjadinya tumpang tindih dan pengulangan penelitian, hingga membantu mengatasi masalah keterbasan pendanaan, SDM, serta sarana dan prasana penelitian," terangnya.