Suara.com - Rencana pelabelan potensi bahaya BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon arus kreatif dan inovatif masih menghadapi penolakan. Tapi ada juga yang merespon positif rencana tersebut.
Rencana pelabelan itu, menurut Manajer Regional PT. Sariguna Primatirta Tbk, produsen galon Cleo, Yohanes Catur Artiono, justru harus menjadi tantangan bagi para pelaku usaha AMDK. Terutama untuk berinovasi memperbaiki produknya ke arah kemasan bebas BPA.
“Kami sudah sejak lama memproduksi galon non-polikarbonat dan mencantumkan label BPA Free, karena kami sudah mengantisipasi kebutuhan masyarakat akan kesehatan di masa depan," kata Yohanes dalam keterangannya baru-baru ini.
Pada November 2021, BPOM merilis rancangan perubahan atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Salah satu pasal di dalamnya mewajibkan pencantuman tulisan “Berpotensi Mengandung BPA” pada label AMDK kemasan galon polikarbonat atau plastik keras.
BPA sendiri merupakan bahan kimia yang digunakan dalam proses pembuatan galon plastik keras. Ratusan publikasi ilmiah menyebut paparan BPA pada kemasan kontak pangan antara lain bisa menyebabkan gangguan hormonal yang mengarah kepada kemandulan dan juga kanker.
Rencana perubahan peraturan BPOM tersebut mendapatkan penolakan dari kalangan pengusaha AMDK. Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia atau Aspadin, misalnya, meminta BPOM tidak melanjutkan rencana tersebut. Aspadin mengklaim, jika disahkan, peraturan pelabelan BPA akan memicu persaingan usaha yang tidak sehat dan mematikan industri AMDK galon.
Namun, Yohanes meminta pengusaha AMDK tidak melihat rencana BPOM itu sebagai momok menakutkan. Selain menjadi tantangan yang bisa memicu inovasi, rencana pelabelan itu juga sebenarnya menyasar produk-produk AMDK galon polikarbonat yang paparan BPA-nya melebihi batas aman yang ditentukan oleh BPOM.
“Kalau paparan BPA-nya di bawah batas yang ditentukan oleh BPOM, kenapa harus khawatir,” kata Yohanes yang berbicara dalam webinar yang diselenggarakan oleh FMCG Insights dengan tema “Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat” pada Kamis 21 April 2022.
“Para pelaku usaha yang memproses dan memproses ulang galon polikarbonat dengan tidak benar, sehingga paparan BPA-nya melebihi batas aman, justru harus membuat inovasi.”
Baca Juga: Vanessa Gadis yang Disebut Bisa Jalan Lagi Usai Disuntik Vaksin Nusantara Viral, Begini Kronologinya
Dalam perubahan peraturan itu, BPOM mensyaratkan nilai batas deteksi BPA pada kemasan galon polikarbonat tidak melebih 0,01 bpj (bagian per juta). BPA dalam kemasan pangan polikarbonat bisa dideteksi dan bermigrasi sejak di sarana produksi hingga peredaran dan penyimpanan.
Berbicara dalam webinar yang sama, ahli persaingan usaha dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Tjahjanto Budisatrio, menyebut risiko paparan BPA sebagai eksternalitas negatif dalam industri AMDK, seperti halnya risiko nikotin dan Tar pada industri rokok. Dalam kondisi demikian, sudah sewajarnya pemerintah, dalam hal ini BPOM, turun tangan agar industri di masa depan tidak mengalami kegagalan pasar (market failure).
“Persaingan makin sehat justru ketika masyarakat makin sadar dengan dampak kesehatan,” katanya. “Produk yang menggunakan BPA otomatis akan terdorong untuk diperbaiki agar bisa tetap bersaing, sehingga terjadilah kondisi pasar yang contestable (kompetitif).”