Suara.com - Diare dan sembelit merupakan dua gangguan pencernaan yang bertolakbelakang. Penyakit tersebut rentan terjadi pada anak-anak, terutama yang balita karena sistem pencernaannya belum berfungsi sempurna.
Dokter spesialis anak DR. Dr. Muzal Kadim, Sp.A(K)., mengatakan ada kondisi khusus yang menjadi tanda anak mengalami diare ataupun sembelit.
"Diare akut itu (terjadi) kurang dari 14 hari. Yang paling sering terjadi pasca lebaran itu diare akut. Karena sebelumnya enggak diare, tapi setelah lebaran makan macam-macam, kondisi tubuh turun, tertular dengan anak lain, itu bisa saja menyebabkan diare," papar dokter Muzal dalam webinar Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Selasa (11/5/2022).
Dikatakan diare apabila anak buang air besar (BAB) lebih dari tiga kali sehari. Dokter Muzal mengatakan, normalnya BAB memang bisa terjadi maksimal 3 kali sehari. Selain itu, yang juga perlu diperhatikan yakni bentuk fesesnya.
"Kalau bentuknya normal, tidak dikatakan diare. Jadi harus ada konsistensi, (feses) lebih lembek dari sebelumnya, biasanya berbau lebih busuk, lebih menyengat, berbau asam, dan ada lendir. Jadi diare itu ada perubahan bentuk feses," jelas Ketua UKK Gastro-Hepatologi IDAI tersebut.
Sementara konstipasi atau sembelit bisa disebabkan karena faktor psikologis lada anak yang sengaja menahan BAB karena takut merasa nyeri. Juga ada faktor gangguam pasa sistem pencernaannya.
Kebalikan dari diare, sembelit berarti frekuensi BAB terlalu sedikit. Dokter Muzal mengatakan, disebut sembelit apabila BAB kurang dari 2 kali per minggu atau lebih dari 3 hari.
"BAB tiga kali sehari boleh, sampai 3 hari sekali atau dua kali per minggu itu normal. Kalau sudah lebih, di hari ke-4 baru keluar itu terdefinisi sebagai sembelit," jelasnya.
Bentuk feses juga jadi indikator adanya sembelit. Tubuh yang mengalami sembelit biasanya akan sulit mengeluarkan feses karena bentuknya yang keras akibat kurang serat. Sedangkan secara bau, tidak lebih menyengat seperti feses akibat diare.