Suara.com - Sudah menjadi keharusan bagi peneliti untuk melakukan serangkaian uji klinis, salah satunya terhadap manusia, ketika mengembangkan suatu obat sebelum diproduksi secara massal untuk masyarakat.
Peneliti juga akan mencari peserta penelitian untuk menguji kemanjuran dan keamanan obat yang mereka kembangkan.
Inilah yang dilakukan oleh Jake Eberts (26) asal Maryland, Baltimore, yang mendaftarkan dirinya dalam sebuah uji coba vaksin yang dilakukan oleh peneliti dari Institut Pasteur, Prancis.
Ia dan 15 peserta studi lainnya harus meminum segelas cairan keruh dan asin mengandung bakteri shigella. Bakteri ini dapat membuatnya sakit disentri, sebuah infeksi pada usus yang menyebabkan diare mengandung darah atau lendir.
Baca Juga: Bakteri Salmonella di Cokelat Kinder Termasuk Jenis yang Berbahaya, Kebal 6 Antibiotik!
Dilansir Insider, ini adalah bagian dari proses yang dikontrol ketat untuk menguji kandidat vaksin. Nantinya, beberapa sukarelawan akan divaksinasi dan ada yang tidak. Lalu, peneliti akan menilai hasilnya.
Masing-masing sukarelawan dibayar lebih dari Rp 101,6 juta untuk percobaan ini.
Eberts mulai merasa sakit sekitar 40 jam setelah ia minum shigella. Ketika ia bangun tidur, perutnya kram dan tubuhnya kedinginan. Gejala dengan cepat berkembang menjadi demam, diare, dan tinja berdarah.
"Saya sungguh merasa seperti tidak bisa bergerak," ungkap Eberts, yang mengaku kesulitan untuk bangun ke kamar mandi.
"Setiap bergerak di kamar mandi, untuk bangun, untuk mencuci tangan atau mengambil handuk kertas, saya akan berbaring di lantai dan hanya duduk di sana selama lima menit," lanjutnya.
Baca Juga: WHO Soroti Bakteri Salmonella di Cokelat Kinder Kebal 6 Obat Antibiotik
Demamnya naik menjadi 39,4 derajat Celcius dan Eberts hanya bisa berbaring di bawah tumpukan selimut. Dalam beberapa jam, ia diberi vaksin dan diberi antibiotik ciprofloxacin.
Dalam empat jam, kondisinya membaik dan ia sudah bisa berjalan serta berbicara walau masih dengan sedikit kesulitan.
Suatu ketika ketika Eberts merasa sangat kesakitan, para peneliti masuk ke toilet dan memproses sampel tinja serta urin.
Dari sampel ini, peneliti dapat mempelajari jenis respons imun yang ditimbulkan vaksin dan mengukur lebih baik apakah aksin dapat mengurangi beban penyakit.
"Cara ini membuat kami mempelajari mekanisme perlindungan (vaksin)," terang peneliti Chen.
Ini adalah uji coba fase kedua. Sebelumnya, peneliti telah melakukannya di Israel.
Bila hasil uji coba fase kedua menunjukkan bahwa vaksin dapat ditolerensi dan efektif dalam emncegah penyakit parah, maka vaksin dapat diuji dalam skala yang lebih besar, biasanya pada ratusan ribu orang di seluruh dunia.